Perubahan Iklim yang Berdampak pada Peristiwa-peristiwa Sejarah

By Mahandis Yoanata Thamrin, Jumat, 2 Desember 2022 | 07:00 WIB
The Black Death, lukisan cat air karya Monro S. Orr. Perubahan iklim telah memicu peristiwa-peristiwa bersejarah, dari perang sampai penemuan. (Creative Commons)
 
 
Nationalgeographic.co.id—Kemunduran kerajaan atau kekaisaran masa lalu seringkali dikaitkan dengan ketidakcakapan pemimpinnya atau serangan lawan. Namun, ada penelitian yang mencoba mencari hubungan antara perubahan iklim dengan berbagai peristiwa dalam sejarah. Ternyata ada beberapa peristiwa besar bertepatan dengan perubahan cuaca dan iklim.
 
Sebuah studi meneliti perubahan suhu dan curah hujan di Eropa selama beberapa tahun. Studi itu menghasilkan gambaran rinci tentang hubungan iklim dengan masyarakat. Ahli paleoklimatologi dari Swiss Federal Institute di Zurich, Ulf Büntgen, dan rekan-rekannya berkolaborasi dengan para arkeolog untuk membuat pusat data yang terdiri dari 9.000-an potongan kayu dari 2.500 tahun lalu. Sampel ini berasal dari pohon hidup, sisa-sisa bangunan, dan artefak kayu lainnya. Semua sampel berasal dari Prancis dan Jerman.
 
Dengan mengukur luas cincin pertumbuhan tahunan kayu, para peneliti dapat menentukan suhu dan curah hujan tiap tahun. Untuk mendapatkan suhu tahunan, para peneliti mengukur lingkaran-lingkaran dalam kayu dari pohon konifer yang tumbuh lebih cepat saat musim panas dan lebih lambat saat dingin datang. Untuk memperoleh tingkat curah hujan, para peneliti melihat lebar lingkaran di pohon oak yang tumbuh lebih cepat saat curah hujan tinggi. Mereka juga menggunakan metode lain untuk memastikantahun-tahun yang diwakili lingkaran-lingkaran itu.
 
Hasilnya, analisis menunjukkan perubahan iklim yang kita alami sekarang belum pernah terjadi dalam 2.500 tahun terakhir. Karena data menghubungkan pola cuaca dengan tahun tertentu, para peneliti juga dapat memastikan cuaca dengan momen tertentu dalam sejarah. Data menunjukkan iklim mempengaruhi budaya dengan cara yang dramatis.
 
Contohnya, pergeseran tidak biasa pola cuaca yang ekstrem antara tahun 250 hingga 550, bertepatan dengan periode pergolakan politik dan ekonomi di Eropa. Saat pola cuaca kembali stabil pada sekitar tahun 700 sampai 1000, masyarakat kembali berkembang di pinggiran barat laut Eropa. Pada sekitar tahun yang sama, koloni Nordik berkembang di Islandia dan Greenland.
 
Litograf imbas Black Death karya Pieter Bruegel. (Pieter Bruegel/Aeon)
 
Iklim juga diduga memiliki peran dalam epidemi Black Death yang menewaskan setengah populasi Eropa pada 1347. Selama puluhan tahun menjelang wabah ini, penelitian menunjukkan, terjadi musim panas yang basah dan cuaca dingin. Kondisi ini kemungkinan menyebabkan meluasnya kelaparan dan tingkat kesehatan memburuk. Sehingga, orang-orang mudah terjangkit wabah.
 
Cuaca basah berkepanjangan hingga 300 tahun yang mendorong persebaran wabah pes pada abad pertengahan, bertepatan dengan kemerosotan Kekaisaran Romawi. Contoh lainnya, ada cuaca dingin pada awal abad ke-17 yang bertepatan dengan Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa. Pada masa perang ini banyak orang meninggalkan Eropa dan bermigrasi ke Amerika. "Mereka pergi bukan karena ada perang, tapi karena cuaca dingin. Tapi, kepindahan tidak banyak membantu. Masyarakat telah banyak kena dampak pergolakan politik dan mereka mendapat penderitaan tambahan dari musim panas yang dingin," ujar Büntgen.
 
Namun, Büntgen menegaskan penemuan korelasi ini tidak membuat perubahan iklim menjadi penyebab sejumlah peristiwa sejarah. "Ini tidak memberi prediksi apa pun. Tapi, ini membantu kita menerima saat harus mempertimbangkan sesuatu," tutur Büntgen. Dia menambahkan, dengan melihat masa lalu, penelitian ini dapat membantu masyarakat mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk perubahan iklim di masa mendatang. "Kita perlu memiliki pemahman yang lebih baik tentang sistem iklim masa lalu dan keberagamannya untuk memahami situasi saat ini," pungkasnya. 
 
Penyimpangan iklim global pada 1816-1817 termasuk fenomena salju merah di Eropa merupakan buah dari petaka sebuah gunung di Pulau Sumbawa, Tambora. 
  
 
Baca Juga: Seberapa Besar Risiko Perempuan dalam Kecamuk Perubahan Iklim?

Baca Juga: 175 Tahun Silam George Perkins Marsh Memprediksi Perubahan Iklim

Baca Juga: Perubahan Iklim Tidak Menimbulkan Masalah Baru, Kitalah Masalahnya

Baca Juga: Murka Tambora, Kemunculan Salju Merah dan Frankenstein di Eropa 

   

“Tambora menyediakan satu contoh yang sangat baik yaitu volcanic winter atau musim dingin yang disebabkan oleh letusan gunung api,” papar Awang Harun Satyana kepada National Geographic Indonesia. Dia dikenal sebagai ahli geologi senior dan instruktur dalam Geotrek Indonesia—komunitas nirlaba bagi pencinta warisan geo-histori Indonesia.

Besarnya energi letusan ini telah menginjeksi tebaran abu yang sangat halus dan gas sulfur, hingga memasuki lapisan stratosfer dan menjadi awan abu stratosfer dan aerosol. Tersebarnya partikel halus zat padat atau cairan dalam gas atau udara inilah yang mempengaruhi iklim. Atmosfer bak perisai yang menangkis sinar matahari, sehingga terjadi penurunan suhu di Bumi.

“Nah, itulah yang menyebabkan volcanic winter di Bumi. Tahun 1816, kita punya musim dingin di belahan utara yang muncul terus-menerus. Harusnya Juni musim panas, namun ini malah beku,” tambahnya.

'Tahun Tanpa Musim Panas' melanda negeri-negeri Eropa. Musim dingin yang berkepanjangan itu telah banyak menimbulkan kesukaran. Ternak binasa, sehingga kereta tak berkuda. 
 
Kemudian Baron Karls Drais von Sauerbronn, seorang pejabat kehutanan Jerman, memiliki gagasan untuk mengatasi persoalan transportasi saat itu. Dia meletakkan dasar-dasar kendaraan beroda dua—kini kita menyebutnya dengan sepeda.