“Salju terlebat yang pernah dikenal di negara itu, turun di Terrano, Italia, pada 31 Desember,” demikian berita Niles’ Weekley Register yang terbit pada Sabtu, 18 Mei 1816. “Salju itu berwarna merah dan kuning! Fenomena itu menimbulkan kehebohan karena ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat.”
Surat kabar terbitan Baltimore, Amerika Serikat itu juga melaporkan bahwa peristiwa alam nan aneh itu telah membuat warga Terrano melakukan prosesi keagamaan yang memanjatkan doa bagi keselamatan mereka. Sementara, pemerintah setempat meminta para ahli untuk membuat penelitian perihal salju ini.
“Salju itu berwarna merah dan kuning! Fenomena itu menimbulkan kehebohan karena ketakutan dan kekhawatiran di masyarakat.”
Baca Juga : Adakah yang Mampu Menyingkap Teka Teki Raden Ayu Kartini Ini?
Mary Wollstonecraft Shelley, perempuan asal Inggris yang berusia 18 tahun, bersama koleganya tengah melancong ke Jenewa untuk liburan musim panas pada Mei 1816. Namun, dia justru menjumpai musim dingin yang tampaknya jatuh pada bulan yang salah. Dia tidak menjumpai musim panas. "Semua basah, musim panas yang aneh," kenangnya. "Hujan yang terus-menerus telah membatasi kami untuk keluar rumah."
Bencana musim dingin nan mencekam itu telah menginspirasi Mary untuk menggubah sebuah novel fiksi ilmiah dan berbumbu horor berjudul Frankenstein; or, The Modern Prometheus. Karya itu terbit dalam tiga jilid di London pada 1818. Kesohoran kisah itu telah menginspirasi film-film horor pada abad berikutnya dan melegenda hingga kini—berkah bencana.
“Pada 15 April 1816, salju berwarna turun lagi di Italia” terutama di daerah pegunungan, demikian laporan yang dicatat oleh Caribber untuk bukunya Odd Showers yang terbit di London pada 1870. “Warnanya merah bata dan menyisakan debu tanah [...] bau lempung, agak asam, dan rasanya kuat.” Dia mengungkapkan bahwa salju berwarna itu sebagian besar terdiri atas unsur batu rijang, besi, alumina. “Saya yakin bahan yang mewarnai salju itu akibat dari abu vulkanik, dikenal dengan puzzolana.”
Caribber dan peneliti lain semasa menyadari bahwa fenomena aneh tersebut berasal dari letusan gunung berapi. Namun, mereka belum menyadari gunung api mana yang menjadi biangnya.
Gunung Tambora pernah memuntahkan material erupsi 55 juta ton berupa gas sulfur-dioksida sejauh 43 kilometer ke angkasa pada awal April 1815. Kemurkaannya melahirkan bencana gunung api terburuk sepanjang ingatan manusia—lebih mengerikan ketimbang letusan Vesuvius yang mengubur Kota Pompeii di Italia pada abad pertama. Erupsi dahsyat Gunung Tambora di Pulau Sumbawa inilah menjadi biangnya.
Kemurkaannya melahirkan bencana gunung api terburuk sepanjang ingatan manusia.
Sejumlah 12.000 orang yang menghuni sekitar gunung tersebut, hampir semuanya binasa dalam sehari karena terenggut abu dan aliran piroklastik—gas panas, abu vulkanik, dan bebatuan padat dan cair.
Dampak letusan Tambora sungguh mahadahsyat dan mengglobal. Setahun setelah erupsi, Eropa dan juga Amerika bagian timur dilanda musim dingin yang berkepanjangan, dengan suhu dingin yang melebihi biasanya. Tambora telah mempengaruhi seisi planet ini—tanah, udara, dan samudra. Bencana ini membawa kegagalan besar dalam panen pangan dan ternak, mewabahnya penyakit tipus di beberapa negara Eropa, dan gejolak sosial pada 1816. Pasca Perang Napoleon, puluhan ribuan veteran didemobilisasi dan pada kenyataannya para veteran tidak mampu memberi makan keluarga mereka. Sebagian warga Eropa juga bertahan hidup dengan bermigrasi.
Baca Juga : Adakah Hubungan Antara Salatiga, Arthur Rimbaud, dan Soekarno?
Sebuah buku berjudul The Works and Correspondence of David Ricardo: Volume 7, Letters 1816-18, yang pertama kali terbit pada 1952, mengungkapklan kegelisahan seorang ekonom Inggris.
David Ricardo menulis surat kepada koleganya, Thomas Robert Malthus. Keduanya merupakan ekonom politik di Inggris. “Musim dingin dan cuaca basah yang berlanjut tidak memungkinkan bagi kita untuk mempunyai harapan baik untuk musim panen,” tulisnya. “Saya sangat khawatir bahwa warga miskin akan sangat menderita selama musim dingin tahun depan. Bahkan, saya tidak bisa berharap mereka tidak akan lama berlanjut tanpa bekerja.”
Warga Eropa dan Amerika timur merindukan musim panas. Dunia mengenang kecamuk musim dingin yang berkepanjangan itu sebagai “Tahun Tanpa Musim Panas”—sebuah pelajaran berharga tentang hubungan gunung api dan perubahan cuaca.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Gita Laras Widyaningrum |
KOMENTAR