Evolusi Perayaan Natal Diselingi Tradisi dari Berbagai Budaya

By Sysilia Tanhati, Minggu, 25 Desember 2022 | 14:00 WIB
Dipenuhi dengan keceriaan, diselingi oleh tradisi dari berbagai budaya, bagaimana hari Natal berevolusi? (Walter Chávez)

Nationalgeographic.co.id - Bagaimana hari Natal bisa begitu populer di berbagai belahan dunia? Sarat dengan tradisi dan penuh dengan perayaan, Natal merupakan perayaan untuk mengenang kelahiran Yesus Kristus di Bethlehem. Di zaman modern, Natal menjadi hari libur yang semakin sekuler. Hari raya ini yang ditandai dengan musim yang dipenuhi dengan keceriaan, diselingi oleh tradisi dari berbagai budaya. Bagaimana hari Natal berevolusi?

Kapan Yesus Kristus lahir?

Alih-alih menyebutkan tanggal kelahiran Yesus, kitab suci umat Kristiani menceritakan tentang kisah kelahiran Yesus yang sederhana. Ia lahir di kandang domba dan dibaringkan di palungan oleh Maria.

Sejarawan tidak setuju tentang bagaimana 25 Desember dikaitkan dengan Natal. Namun, pada tahun 336 Masehi, Natal dirayakan oleh gereja Katolik di Roma pada tanggal tersebut. “Saat itu, 25 Desember bertepatan dengan festival Saturnalia,” tulis Erin Blakemore di National Geographic. Festival Saturnalia dilakukan tepat setelah hari pertama musim dingin. Hari ini adalah hari di sepanjang tahun dengan siang hari yang terpendek dan malam hari yang terpanjang.

Festival musim dingin telah ada di seluruh dunia sejak zaman kuno dan akhirnya banyak dari tradisi festival tersebut dikaitkan dengan Natal. Misalnya, festival titik balik matahari Jerman di Yule menampilkan perjamuan dan perayaan. Suku Druid mengadakan festival titik balik matahari selama dua hari. Selama perayaan, mereka menyalakan lilin dan menghiasi rumah dengan holly dan mistletoe.

Perayaan Natal pada abad pertengahan di Inggris

Seiring waktu, Natal menjadi populer dan merupakan tradisi baru di beberapa tempat. Di Inggris di abad pertengahan, Natal adalah festival 12 hari yang melibatkan semua jenis pesta pora. “Mulai dari drama hingga pesta liar hingga arak-arakan merayakan kelahiran Yesus,” tulis Erin Blakemore di laman National Geographic. Musik, pemberian hadiah, dan dekorasi semuanya menjadi hal yang penting saat itu.

Pesta yang paling mewah dirayakan oleh raja seperti Henry III, yang tamunya melahap 600 lembu pada salah satu pesta Natal abad ke-13. Universitas-universitas akan memahkotai "Raja Natal" atau "Raja Kacang" yang "memerintah" rekan-rekannya selama musim liburan.

Baca Juga: Mengapa Kita Merasa Natal Seolah Datang Lebih Cepat setiap Tahunnya?

Baca Juga: Piet Hitam Si Pembantu Sinterklas, Rasisme dalam Budaya Natal Belanda

Namun tidak semua orang menikmati perayaan itu. Pada tahun 1644, kaum puritan Inggris melarang perayaan tersebut. Tindakan itu pun memicu kerusuhan dan memicu perang saudara kedua di Inggris.

Pengaruh budaya Jerman dalam perayaan Natal

Inggris tidak memonopoli Natal. Jerman mendapat kredit atas munculnya satu simbol Natal universal yaitu pohon Natal. “Tradisi ini berevolusi dari tradisi pagan mendekorasi dengan cabang-cabang pohon,” Blakemore menambahkan lagi.  

Orang Jerman menyebut versi mereka adalah pohon pinus dalam ruangan yang dihiasi lilin dan hadiah, Tannenbaum. Tradisi tersebut mulai populer pada abad ke-19, ketika keluarga kerajaan Inggris, yang berasal dari Jerman, memasang pohon Natal. Sejak itu, tren global pun dimulai.

Orang Jerman juga menjadi pencetus banyak tradisi lain, seperti karangan bunga Advent, nutcracker, dan pasar Natal. Di sisi lain, Natal juga dibentuk oleh kekuatan politik di Jerman. Pada tahun 1930-an, Nazi berusaha mendefinisikan ulang hari raya tersebut sebagai perayaan Reich Ketiga non-Kristen.

Ketika Amerika Serikat jatuh cinta dengan Natal

Seperti di Inggris, kaum Puritan Amerika melarang Natal di Massachusetts pada tahun 1659. Larangan tersebut baru dicabut pada tahun 1681. Di Amerika Serikat, Natal awalnya tidak dirayakan dengan penuh semangat hingga akhirnya terjadi Perang Saudara. Perang Saudara akhirnya menekankan pada pentingnya rumah dan keluarga. Pada tahun 1870, setelah perang berakhir, Kongres menjadikan Natal sebagai hari libur federal pertama negara itu.

Jerman mendapat kredit atas munculnya satu simbol Natal universal yaitu pohon Natal. (Cameron Stewart)

Sementara itu, ketika para imigran membanjiri Amerika Serikat pada paruh kedua abad ke-19. Mereka membawa serta tradisi dari kampung halamannya. Seperti yang ditulis sejarawan Natal William D. Crump dalam The Christmas Encyclopedia, ini menciptakan semacam wadah peleburan Natal. Asimilasi berbagai budaya menjadi liburan yang lebih seragam dan dirayakan secara luas di rumah bersama keluarga.

Salah satu ikon budaya yang dibawa oleh para imigran akan menjadi selebritas khas Amerika—Sinterklas.

Bagaimana St. Nicholas menjadi Sinterklas

Salah satu tokoh Natal modern yang paling populer adalah Sinterklas, Bapak Natal berperut buncit dan berjanggut putih. Ia kerap digambarkan sedang menggunakan kereta luncur yang digerakkan oleh rusa kutub. Sinterklas mengantarkan hadiah kepada anak-anak yang baik di seluruh dunia.

Karakter tersebut didasarkan pada St. Nicholas, seorang uskup Yunani abad ketiga yang dikaitkan dengan pemberian hadiah bulan Desember.

Baca Juga: Memori Natal Kita, Menonton Home Alone, Tegang Gregetan Tiap Adegan

Baca Juga: Tradisi Berkirim Kartu Natal, Siapa yang Pertama Kali Memulainya?

Sinterklas datang ke Amerika Serikat bersama imigran Jerman dan Belanda pada abad ke-18 dan ke-19. Dia dipopulerkan dalam cerita-cerita oleh penulis Amerika seperti Washington Irving dan Clement Clarke Moore.

Ilustrator Thomas Nast menggunakan cerita rakyat Eropa untuk menciptakan Sinterklas yang popularitasnya segera menyebar ke seluruh dunia. Pada tahun 1890, pedagang James Edgar memulai kebiasaan yang tak terhapuskan hingga kini. Ia mengenakan kostum seperti Sinterklas dan menyapa anak-anak di toserbanya di Brockton, Massachusetts. Idenya “meledak” dan Sinterklas sering mengunjungi pusat perbelanjaan dan tempat umum sejak saat itu.

Asal usul kebiasaan perayaan Natal lainnya

Cahaya selalu menjadi bagian dari festival musim dingin, dengan ciri khas malam yang panjang dan gelap.

Lampu Natal elektrik adalah evolusi dari lilin kuno yang diletakkan orang Jerman di pohon mereka. Thomas Edison, penemu bola lampu, dikreditkan sebagai penemu rangkaian lampu pertama. Pada tahun 1882 rekan bisnisnya, Edward H. Johnson, menciptakan pohon Natal pertama yang diterangi dengan lampu berwarna.

Inovasi Amerika juga membentuk tradisi bertukar hadiah yang selalu populer di hari Natal. Pada abad ke-20, kertas pembungkus kado yang cantik menggantikan pembungkus kertas coklat. Ini dimulai ketika Rollie B. Hall, keluarga pendiri kartu ucapan Hallmark, menggunakan pelapis amplop bergaya Prancis setelah kehabisan kertas di tokonya.

Sinterklas (St. Nicholas) bersama pembantunya berkulit hitam yang disebut sebagai Pete hitam (Zwarte Piet). (Michell Zappa/Wikimedia Commons)

Hallmark juga memiliki andil dalam tradisi kartu Natal modern. Perusahaan itu menggunakan kartu karton cetak kecil akhir abad ke-19 untuk membuat kartu yang lebih besar dengan format seperti buku.

Hadiah, kartu, dan dekorasi memeriahkan perayaan Natal. Akan tetapi bagi banyak orang, Natal belum lengkap tanpa makanan favorit mereka. Rumah roti jahe mendapatkan popularitas Natal di awal abad ke-19. Tradisi ini dimulai sejak Brothers Grimm menerbitkan kisah Hansel dan Gretel. Dalam dongeng itu, dua anak diculik oleh seorang penyihir yang tinggal di sebuah rumah dengan dinding yang terbuat dari roti jahe dan permen lainnya.

Hari raya yang semakin sekuler

Meskipun berawal dari perayaan agama, Natal akhirnya menjadi hari libur sekuler dan semakin dikomersialkan. “Itu memicu kekhawatiran selama berabad-abad,” kata sejarawan Lisa Jacobson. “Orang-orang mengeluh tentang komersialisasi Natal yang berlebihan sejak pertengahan abad ke-19,” katanya lagi.

Mereka yang takut hari raya menyimpang dari akar agamanya ada benarnya. Pada tahun 2019, sembilan dari sepuluh orang Amerika yang disurvei oleh Gallup mengatakan bahwa mereka merayakan Natal. Akan tetapi hanya 35 persen yang mengatakan bahwa mereka melihat hari raya tersebut sebagai “sangat religius”.

Namun dengan campuran tradisi pagan dan sisi religius, hari raya ini menawarkan sesuatu bagi semua orang yang merayakannya.