Menyelami Pemikiran Socrates Menentang Demokrasi di Negerinya

By Galih Pranata, Senin, 2 Januari 2023 | 12:00 WIB
Patung Socrates filsuf Yunani kuno (lentina_x/Flickr)

Nationalgeographic.co.id—Filsuf Yunani kuno, Socrates adalah seorang troll besar. Namanya paling sering dikenal sebagai filsuf moral pertama dari tradisi etika Barat, dan dianggap sebagai pendiri filsafat Barat.

Bagi banyak orang pada saat itu, Socrates dapat dipandang sebagai seorang guru yang mengajar beberapa orang jahat dan mengisi kepala mereka dengan pandangan anti-demokrasi.

"Murid-muridnya kemudian melakukan hal-hal yang mengerikan," tulis Khalid Elhassan kepada History Collection dalam artikel berjudul The Philosopher who Trolled Himself to Death and Other Philosophical Oddities from History terbitan 27 September 2022.

Ia memprovokasi murid-muridnya untuk menentang konsepsi demokrasi yang telah dijalankan di Athena. Di luar perspektif orang tentang kesalehan pikiran Socrates, dia menyimpan banyak kisah kontroversial.

"Sebagaimana orang Athena kontemporer mungkin melihatnya, Socrates dapat dibandingkan dengan seorang imam radikal modern," tambahnya.

Karakternya adalah menghentikan orang dan mengajukan serangkaian pertanyaan yang pada akhirnya membuat mereka terikat dalam simpul logis dan bertentangan dengan diri mereka sendir, dikenal dengan Metode Socrates.

Tindak tanduk itulah yang membuatnya tidak disukai banyak orang. Ia sering diejek dalam drama dramawan komik, seperti halnya karya berjudul The Clouds karya Aristophanes.

Socrates menghadapi ajalnya dengan meminum racun atas tuntutan pengadilan. Padahal bisa saja ia bebas. ( Jacques-Louis David/Wikimedia)

Agaknya di waktu yang tidak tepat, di mana ia muncul ketika Athena berada di puncak kekuasaannya, sistem demokrasi yang berkembang dan polis, atau negara kota, menjadikan Athena paling kuat di zaman itu. Kedigdayaannya seperti AS di dunia modern.

Ketika azas demokrasi tengah menguat, Socrates malah meragukan dan mempertanyakan demokrasi. Alhasil, muncul sejumlah pemberontak yang melawan hegemoni demokrasi di Athena kala itu.

Pemikiran radikalis anti-demokrasinya berdasar pada argumentasinya, bahwa sistem demokrasi yang dijalankan Athena bukanlah sesuatu yang ideal.

"Maksud Socrates adalah bahwa memberikan suara dalam pemilihan adalah keterampilan, bukan intuisi acak. Dan seperti keterampilan apa pun, itu perlu diajarkan secara sistematis kepada orang-orang (tidak sembarangan)," terusnya.