Produk Sampingan Sawit Indonesia Dinilai Berbahaya bagi Sapi Perah

By Utomo Priyambodo, Rabu, 4 Januari 2023 | 07:01 WIB
Dengan satu operator, mesin putar pemerah bisa memerah hingga 150 ekor sapi per jam di Kampus Susu Universitas Wageningen. Di sini, periset berusaha mengatasi tantangan peternakan sapi perah negara Belanda yang berpenduduk padat. (Luca Locatelli/National Geographic)

PKE di lingkungan Selandia Baru

Saat ini, peraturan lingkungan mengharuskan petani untuk mengukur setiap input ke pertanian mereka untuk memenuhi anggaran nutrisi agar tetap dalam standar kualitas air tawar. Ketika komposisi PKE berubah secara bertahap, menjadi sangat sulit untuk mengukur input pertanian dan memenuhi anggaran nutrisi pertanian.

Fonterra dan Synlait, dua perusahaan susu terbesar di Selandia Baru, secara aktif mencegah penggunaan PKE karena dapat mengubah komposisi susu, sehingga kandungan lemaknya lebih tinggi.

Namun, PKE tetap banyak digunakan karena kekurangan pakan. "Secara potensial, penggunaan PKE dapat diimbangi dengan menggunakan kembali sebagian dari lebih dari 2 juta ton makanan dan limbah pemrosesan makanan yang dihasilkan Selandia Baru setiap tahunnya," kata Hadee Thompson-Morrison dan rekan-rekan penelitinya.

Produksi minyak sawit

Bahkan jika PKE terbukti bermanfaat bagi pertanian Selandia Baru, masih ada pertanyaan etis apakah Selandia Baru harus mendukung industri minyak sawit dengan pola produksi yang tidak berkelanjutan itu.

Produksi minyak sawit telah dikaitkan dengan deforestasi di hutan hujan tropis di Indonesia. Sebab, semakin banyak lahan yang dibutuhkan untuk memproduksi komoditas yang semakin umum digunakan dalam makanan sehari-hari dan produk perawatan pribadi.

Bahkan ketika PKE telah disertifikasi oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil—sebuah program sertifikasi untuk penanam, pemasok, dan pengguna minyak sawit—penelitian menunjukkan bahwa minyak sawit ini tidak berbeda dengan yang lain dalam hal hasil sosial, lingkungan, dan ekonomi bagi masyarakat dan lingkungan.

Pada 2015 dan 2019, Indonesia mendapat perhatian media atas kebakaran hutan untuk pembukaan lahan produksi minyak sawit, yang mengakibatkan polusi udara di negara-negara tetangga.

Audit oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2018 menemukan 81% perkebunan kelapa sawit di negeri ini melanggar peraturan lingkungan. Pelanggaran yang dilakukan termasuk tidak mendapatkan izin, tidak memenuhi standar keberlanjutan dan perambahan hutan lindung di sekitarnya.

Oleh karena itu, Hadee Thompson-Morrison dan rekan-rekannya menyarankan pemerintah Selandia Baru tak lagi mengimpor produk sampingan sawit itu dari Indonesia maupun negara lain. Mereka menyarankan peternakan Selandia Baru untuk memanfaatkan produk limbah dari negara mereka sendiri yang berupa sisa dari pengolahan kentang, pembuatan anggur, pembuatan bir dan industri pengolahan makanan lainnya.