Sepak Bola di Vietnam sebelum Tahun 1940 adalah Bentuk Perlawanan

By Utomo Priyambodo, Jumat, 6 Januari 2023 | 07:00 WIB
Dulu bermain sepak bola di Vietnam sebelum tahun 1940 dianggap sebagai bentuk perlawanan dan jadi propaganda pergerakan kemerdekaan. (Instagram @bongdavn_)

Baca Juga: Gebrakan Tim Nasional Maroko di Jantung Dekolonisasi Sepak Bola 

Menurut Fossard, kegiatan bermain sepak bola ini kurang diperhatikan oleh para peneliti dan akademisi lain dalam pembahasan pergerakan kemerdekaan Vietnam. "Dalam artikel ini saya membahas kesenjangan dalam penelitian tentang nasionalisme di Vietnam: pertama, dengan menganalisis suatu bagian administratif di Cochinchina pada tahun 1925, yang menjadi saksi langkah pertama menuju kemerdekaan, dan kedua dengan mempelajari tindakan para anggota elite radikal yang menangkap peluang untuk mempromosikan proyek mereka melalui olahraga," tulisnya.

Pada bulan Januari 1925 dua tim sepak bola memainkan pertandingan persahabatan di Saigon. 'Star of Giadinh', tim Annamite paling terkenal saat itu karena kemenangannya di kejuaraan lokal pada tahun 1917 melawan 'Taberd Sport', sebuah asosiasi anak muda termasuk orang-orang Annamite, Prancis, dan beberapa anak Metis (ras campuran).

Karena pertandingan ini berlangsung di lapangan sepak bola Le Cercle Sportif Saigonnais, sebagian besar hadirin terdiri atas orang-orang kolonial Prancis, yang cenderung menentang 'Star of Giadinh'. "Fakta ini penting dan membantu menjelaskan mengapa peristiwa biasa ini memicu krisis kolonial besar di Cochinchina," tulis Fossard.

Sepuluh menit sebelum pertandingan berakhir, para pemain 'Star of Giadinh' diancam bakal didiskualifikasi oleh Breton, orang Prancis yang menjadi Presiden 'Federasi Olahraga Atletik Cochinchina'. Breton menuduh mereka melakukan kekerasan.

Para pendukung tim Annamite langsung menyerbu lapangan untuk melakukan protes. Masing-masing pihak membuat ancaman satu sama lain dan Kapten tim Annamite, Thi Paul, dihina oleh Breton dan diusir dari lapangan.

Thi Paul dan timnya meninggalkan lapangan, dikelilingi dan didorong oleh kerumunan orang-orang Annamite. Bagi pendukung tim Annamite, tidak ada yang bisa menjelaskan keputusan Prancis ini kecuali argumen rasis terhadap 'Star of Giadinh'. Menurut sejumlah orang Annam, kejadian ini menghalangi tim Annamite untuk memenangkan pertandingan dan mendapatkan gengsi yang lebih besar.

Fossard menyoroti bahwa beberapa pertandingan sepak bola di Cochinchina telah menimbulkan perasaan khusus bagi masyarakat di sana karena tim Annamite berhasil mengalahkan tim Prancis. Peristiwa ini adalah kemenangan simbolis bagi orang-orang lokal Vitenam meski di sisi lain para pemain Annamite pertama adalah para pemuda Vietnam yang berpendidikan Prancis dan menerima dominasi Prancis.

Keadaan mulai berubah pada tahun 1925, ketika sebagian besar pemuda kota setempat berani menantang Prancis. Pada saat itulah para pemain dan pendukung Vietnam memulihkan kepercayaan diri mereka berkat 'Star of Giadinh', dan tidak lagi takut dengan penjara kolonial. Apalagi para olahragawan ini menjadi panutan bagi generasi muda bangsa.

Beberapa pemuda Annamite akhirnya membuat hubungan kuat antara sepak bola dan politik. Mereka juga menyatakan bahwa sepak bola mampu mempersatukan bangsa secara lebih baik daripada monarki sebelumnya yang hanya tunduk pada kekuatan Prancis.

"Dengan demikian, sepak bola dalam satu hal merupakan kegiatan rekreasi dan cara untuk membangun kembali bangsa Vietnam," simpul Fossard.

Pada tahun 1939 di Annamite, menurutnya, tampaknya permainan sepak bola merupakan jalan keluar untuk menunjukkan penolakan terhadap pemerintahan kolonial. Kegiatan politik dan olahraga semakin terjalin pada tahun 1930-an dengan aktor-aktor baru, seperti pemuda setempat atau Partai Komunis yang menggunakan kegiatan ini sebagai cara untuk memperkenalkan beberapa propaganda antikolonial.