Di Atas Diskriminasi Rasialisme Ada Spesiesisme oleh Manusia

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 11 Januari 2023 | 12:00 WIB
Mengeksploitasi spesies lain menandakan manusia sebagai sosok yang dominan. Dominasi terhadap spesies lain disebut sebagai spesiesisme. (Public domain)

Nationalgeographic.co.id—Pandai membuat sistem kehidupan, mengubah bentang alam, dan mengatur segala hal yang ada di atas muka Bumi, manusia mencapai status uniknya dalam sejarah Bumi. Kita menjadi makhluk yang terus mendominasi dan mengeksploitasi segala hal, termasuk organisme terkecil di planet Bumi untuk kepentingannya.

Manusia pun selalu menjadi rantai makanan tertinggi di alam, yang tentunya berbeda dengan nenek moyangnya lebih dari jutaan tahun silam. Sampai-sampai, manusialah yang mendorong perubahan iklim yang sangat ekstrem, sehingga memicu kepunahan berbagai organisme.

Akan tetapi, kita juga menyadari bahwa belakangan spesies manusia punya kesalahan dan membuatnya menjadi lazim. Manusia menganggap dirinya unik dan lebih unggul dari spesies lainnya di planet ini.

Para ilmuwan menyebut pandangan itu sebagai spesiesisme—kata analogi yang menyerupai rasialisme (rasisme) tetapi di tingkat antarspesies. Kita menganggap spesies lain lebih lemah, lebih mudah dikuasai, dan merasa tak berdosa jika dibantai.

“Orang-orang akhir-akhir ini sangat sadar betapa jahatnya bagi satu kelompok orang untuk berpikir bahwa mereka lebih unggul dari ras lain," kata Brent Mishler, profesor biologi integratif di University of California (UC) Berkeley, dikutip dari Eurekalert.

"Namun orang yang sama yang sangat sadar akan hal itu dengan senang hati mengatakan, manusia bertanggung jawab atas segalanya, jadi seluruh dunia adalah milik kita untuk digunakan sesuai keinginan kita."

Mishler menjadi salah satu editor di buku yang digarap bersama rekannya yang sama-sama di biologi integratif UC Berkeley Brian Swartz. Buku itu berjudul "Speciesism in Biology and Culture: How Human Exceptionalism is Pushing Planetary Boundaries", dan versi digitalnya bebas akses di Springer Link. Tulisan dalam buku ini dibuat oleh sekelompok ilmuwan dan filsuf yang menganggap ada kesalahan umum, memandang manusia sebagai spesies terhebat di planet Bumi.

Lukisan karya Raden Saleh yang menampilkan suasana kacau saat perburuan di lanskap Jawa masa lampau (Zika Zakiya)

"Cara saya menyampaikannya kepada mahasiswa-mahasiswa saya adalah seperti kita adalah keluarga besar dan beragam yang tinggal di rumah yang sama, yaitu Bumi, dan kita harus rukun. Bukan hanya keluarga manusia. Kita berbicara tentang segalanya—tumbuhan, hewan, dan bakteri. Apa yang satu menekankan yang lain,” lanjut Mishler.

Melalui buku ini, Mishler mengatakan, untuk mengubah pandangan manusia tentang definisi keluarga yang lebih luas. Kehidupan adalah keluarga kita. Maka, penting bagi manusia menciptakan rasa peduli pada keluarga di planet ini, termasuk mikroorganisme terkecil.

Selama ini manusia diajari oleh berbagai pembelajaran leluhur, termasuk kitab suci agama, bahwa manusia menguasai apa yang ada di seluruh permukaan Bumi. Filsuf sains John Wilkins dari University of Melbourne yang juga menulis di buku itu, berpendapat bahwa konsep spesiesisme diajarkan agama dan filsafat, dan bukan dari hasil pengungkapan ilmiah dan emperis.

Speciesisme menempatkan Homo sapiens di puncak hierarki yang sering digunakan untuk membenarkan pengorbanan hewan, tumbuhan, jamur, dan mikroba lain demi kepentingan umat manusia. Perspektif yang berbeda diperlukan untuk memastikan kelangsungan ekosistem Bumi dan pada akhirnya manusia itu sendiri. (Brian Swartz, UC Berkeley)