Nationalgeographic.co.id—Indonesia punya lebih dari 700 bahasa yang dipersatukan dengan Bahasa Indonesia. Jumlah itu membuat Indonesia berada di urutan kedua negara kedua yang memiliki bahasa di dunia, setelah Papua Nugini dengan lebih dari 800 bahasa. Akan tetapi, bahasa-bahasa tersebut terancam punah akibat makin sedikitnya penutur generasi mudanya.
Jika Anda mendengar suatu bahasa daerah dengan bahasa lain, mungkin ada kesamaan. Misalnya, bahasa Jawa untuk 'kuda' adalah jaran, yang juga mirip dengan bahasa Makassar 'jarang'. Atau, pelafalan angka di bahasa-bahasa daerah Indonesia sangat memiliki kemiripan, misal 'telu' dalam bahasa Jawa yang berarti tiga (3), sedangkan di bahasa Sunda 'tilu', dan Makassar 'tallu'.
Hal itu disebabkan bahasa daerah, bahkan hampir seluruh Asia Tenggara, merupakan rumpun Austronesia. Sebuah studi tahun 1997 di PNAS mengungkapkan, bahwa bahasa di dunia punya akar bahasa yang berevolusi dari kebudayaan tempatnya berasal.
Misalnya, bahasa Inggris ternyata berakar dari Inggris lama yang dipengaruhi bahasa Jerman. Hal itu disebabkan karena adanya migrasi bangsa Jermanik Eropa ke Inggris di abad kelima.
Awalnya banyak yang menduga bahwa mungkin karena memiliki leluhur secara genetika yang sama, bahasa ikut berevolusi secara paralel. Namun, dari banyak bahasa-bahasa itu, ada beberapa perbedaan yang bahkan dipengaruhi oleh rumpun lain, yang asalnya dituturkan dari etnis, bangsa, atau ras lain.
Pengetahuan bahwa evolusi bahasa tidak paralel dengan genetika selama beberapa ribu terakhir diungkapkan oleh para peneliti lintas disiplin University of Zurich di Swiss, Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology di Jerman, dan beberapa peneliti lainnya. Penelitian mereka dipublikasikan dalam makalah "A global analysis of matches and mismatches between human genetic and linguistic histories" di jurnal PNAS 21 November 2022.
Para peneliti memeriksa sejauh mana bahasa dan penyebaran genetika beriringan. “Kami berfokus pada kasus-kasus di mana pola biologis dan linguistik berbeda dan menyelidiki seberapa sering dan di mana ketidakcocokan ini terjadi,” kata Chiara Barbieri, pemimpin penelitian yang merupakan ahli genetika University of Zurich, lewat rilis.
Semua data itu mereka kumpulkan dalam pangkalan data global terkait linguistik dan genetik. Pangkalan data itu adalah GeLaTo (Genes and Languages Together) yang berisi informasi genetika dari sekitar 4.000 individu yang berbicara 295 bahasa untuk mewakili 397 kelompok genetik.
Ketidakcocokan yang ditemukan banyak ditemukan oleh Barbieri dan tim. Pemahaman ini bisa membantu mengetahui sejarah evolusi manusia di bidang bahasa. Kasus ketidakcocokan antara genetika dan linguistik dapat dilihat dalam bahasa lokal di berbagai negara. Biasanya terjadi karena perpindahan populasi ke bahasa populasi lainnya yang berbeda secara genetik.
Mereka menemukan, beberapa orang di lembah timur tropis Andes berbicara seperti idiom Quechua. Padahal secara bahasa, Quecha sering diucapkan oleh kelompok dengan profil genetik berbeda yang tinggal di ketinggian yang lebih tinggi.
Orang Damara di Nambia, secara genetik memang berkerabat dengan etnis Bantu. Namun, orang Damara justru menggunakan bahasa Khoe yang dituturkan oleh kelompok di wilayah dekatnya yang secara genetik berbeda jauh. Bahkan, diketahui, peradaban pemburu-pengumpul di Afrika Tengah mayoritas berbahasa Bantu, padahal tidak ada ikatan genetik yang kuat dengan populasi etnis Bantu di wilayah tetangga.
Baca Juga: Teta-Teki Tata Bahasa Sansekerta Terpecahkan Setelah 2.500 Tahun
Baca Juga: Bisakah Manusia Berpikir Tanpa Berkata-kata di Kepala? Ini Kata Sains
Baca Juga: Dunia Hewan: Bagaimana Binatang Berbicara dan Memahami Satu Sama Lain?
Baca Juga: Penemuan Arkeologi Tangan Perunggu Bertuliskan Bahasa Vasconic
Barangkali, ini juga yang terjadi pada masyarakat Bante-Serang. Secara wilayah, mereka berada di kawasan etnis Sunda, dan para raja-raja mereka memiliki hubungan dengan Kerajaan Pasundan. Akan tetapi, beberapa kata dalam bahasa Banten-Serang, justru mengadopsi Bahasa Jawa yang jauh di timur.
Sementara pada kasus lain, perkembangan bahasa yang tidak cocok dengan genetik, disebabkan migrasi. Para migran mempelajari bahasa lokal di tanah baru mereka, dan lambat laun justru fasih berbahasa lokal.
Misalnya, penduduk Yahudi di Georgia mengadopsi bahasa Kaukasia Selatan, dan orang Yahudi Cochin di India fasih berbahasa Dravida. Atau, etnis Tionghoa di Indonesia justru lebih mampu bercakap bahasa Indonesia, bahkan bahasa lokal seperti Jawa, Batak, dan Sunda, daripada bahasa Mandarin.
“Orang Hongaria, misalnya, secara genetik mirip dengan tetangganya, tetapi bahasa mereka terkait dengan bahasa yang digunakan di Siberia,” ujar Kentaro Shimizu memberi contoh lain. Dia adalah salah satu penulis studi dari Department of Evolutionary Biology and Environmental Studies, University of Zurich.
"Tampaknya melepaskan bahasa Anda tidak terlalu sulit, juga karena alasan praktis," tambahnya.
“Ini mungkin memberi kesan bahwa kecocokan gen-bahasa adalah norma, tetapi penelitian kami menunjukkan bahwa bukan itu masalahnya,” Barbieri berpendapat.