Nationalgeographic.co.id—Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah mencabut ketentuan mengenai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sejak akhir tahun 2022. Ini adalah suatu tanda bahwa pemerintah menganggap situasi pandemi sudah berakhir atau setidaknya sudah terkontrol dan mulai memasuki masa endemi.
Namun, hingga Januari 2023 ini, mayoritas masyarakat Indonesia ternyata belum mengetahui bahwa PPKM telah dicabut. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan dalam acara Rilis Hasil Survei Nasional LSI: Kinerja Presiden, Pencabutan PPKM, Ketersediaan Bahan Pokok dan BBM, serta Peta Politik Terkini pada Ahad lalu.
Djayadi mengumumkan hasil survei itu secara daring dan merinci bahwa survei dilakukan dalam periode 7-11 Januari 2023. Target populasi survei ini adalah warga negara Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah, dan memiliki telepon/ponsel. Kelompok ini mewakili sekitar 83 persen dari total populasi nasional.
Pemilihan sampel dilakukan melalui metode random digit dialing (RDD). RDD adalah teknik memilih sampel melalui proses pembangkitan nomor telepon secara acak.
Dengan metode RDD, ebanyak 1.221 responden dipilih melalui proses pembangkitan nomor telepon secara acak, validasi, dan screening. Galat eror survei diperkirakan 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Berdasarkan hasil survei ini, ternyata baru 47 persen masyarakat yang tahu bahwa PPKM telah dicabut. "Dari 47 persen itu, hampir semuanya setuju dengan keputusan tersebut. 20,8 persen menyatakan sangat setuju, 66,3 persen menyatakan setuju," papar Djayadi.
Walaupun PPKM dicabut, Presiden Jokowi tetap meminta masyarakat berhati-hati. Oleh karena itu sejumlah protokol kesehatan seperti pemakaian masker tetap dianjurkan bahkan masih wajib di sejumlah tempat seperti transportasi umum atau tempat publik yang tertutup.
Djayadi membeberkan bahwa mayoritas masyarakat setuju dengan pesan kehati-hatian yang disampaikan presiden. "Bahwa walaupun PPKM dicabut, tetapi kita tetap harus hati-hati, karena itu penggunaan masker harus tetap dilakukan."
Sebanyak 77,5 persen persen masyarakat yang berpendapat bahwa meskipun PPKM dicabut, penggunaan masker tetap sangat atau cukup diperlukan. 23,1 persen menyatakan penggunaan masker sangat diperlukan dan 54,4 persen menyatakan itu cukup diperlukan.
Baca Juga: Pelonggaran PPKM Darurat Perlu Mengkaji Banyak Aspek, Kepatuhan Masyarakat Punya Peran Penting
Baca Juga: Ada Polio dan Cacar, Mengapa Pemberantasan COVID-19 Diutamakan?
Baca Juga: Belasan Ribu Warga Indonesia Diserang Rabies dan Demam Berdarah
Baca Juga: Pestisida Bertanggung Jawab Terhadap Epidemi Obesitas Global
Yang menarik meski 77,5 persen responden menyatakan penggunaan masker diperlukan, hanya 30,9 persen responden yang menyatakan sangat sering atau selalu menggunakan masker ketika berada di luar rumah dan hanya 26,7 persen yang cukup sering menggunakannya di luar rumah. Ini artinya banyak orang sadar penggunaan masker penting, tetapi tak semuanya yang sadar itu benar-benar mempraktikkannya.
Lebih lanjut, 82,1 persen responden juga setuju dengan tetap adanya program pemberian bantuan sosial (bansos) meski PPKM telah dicabut. Hal ini sejalan dengan rencana pemerintah.
"Karena meski ekonomi mulai membaik, tetapi belum pulih sepenuhnya," ujar Djayadi.
Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono, menyatakan hasil hasil survei ini "cukup merepresentasikan pendapat masyarakat." Dia juga mengapresiasi Presiden Jokowi karena dulu berani melakukan penggantian menteri kesehatan di tengah masa pandemi karena melihat Kementerian Kesehatan saat itu tidak siap dalam menghadapi pagebluk.
"Nah waktu itu Kementerian Kesehatan ini enggak siap, sehingga akhirnya Pak Presiden berani mengganti menteri kesehatan yang dokter dengan bukan dokter, wakilnya Pak Erick (Thohir), karena beliau yang melakukan lobi-lobi vaksin dan mendapat mandat harus memvaksinasi penduduk secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya," tutur Pandu.
Menurut Pandu, pada masa awal pandemi memang tidak ada pilihan lain bagi pemerintah selain melakukan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat. Pandu mengaku sempat mengkritik pemerintah pusat yang pada awalnya menyerahkan pemberlakuan ini kepada masing-masing pemerintah daerah, bukan diatur secara nasional
Selama masa awal pembatasan kegiatan masyarakat ini, dulu sempat bernama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) hingga kemudian menjadi PPKM, vaksin belum bisa diberikan karena belum ada yang masuk Indonesia dan disetujui BPOM.
Namun, Pandu mengapresiasi peran banyak pihak, termasuk Kementerian Kesehatan di era menteri yang baru, Kementerian BUMN, dan Kementerian Luar Negeri yang terus aktif melakukan lobi-lobi kepada banyak pihak di luar negeri untuk mempersiapkan program vaksin di Indonesia ini. Pada awal 2021, akhirnya vaksin mulai diberikan kepada penduduk Indonesia secepat-cepatnya dqan sebanyak-banyaknya.
Pandu Riono setuju PPKM kini telah dicabut karena penelitian terhadap antibodi masyarakat Indonesia menunjukkan mayoritas penduduk sudah cukup imun terhadap virus penyebab COVID-19 ini. Pandu kini justru memperingatkan masalah kesehatan lain yang bisa muncul akibat melesunya kondisi ekonomi banyak keluarga.
"Karena kalau tidak (diatasi), banyak anak bakal kurang gizi, banyak vaksinasi anak tertunda sehingga kita mulai pengalami banyak KLB (kejadian luar biasa). Kemarin KLB polio, sekarang mulai ada KLB campak," ujar sang epidemiolog.
Indonesia seharusnya sudah terbebas dari polio dan campak. Namun karena pandemi, banyak vaksinasi anak tertunda sehingga memunculkan lagi banyak kasus polio dan campak pada anak sehingga penyakit ini kembali menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah.
"Jadi pemulihan ekonomi dengan mencabut PPKM itu memberikan dorongan psikologis yang positif," tegas Pandu.