Kenapa Indonesia Bergradasi Warna Kuning di Serial 'The Last of Us'?

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Sabtu, 28 Januari 2023 | 07:00 WIB
Potret Indonesia di serial 'The Last of Us' yang menggunakan gradasi warna kuning dan jingga. Mengapa harus diberi warna yang berbeda dengan latar di AS? (HBO)

Nationalgeographic.co.id - Potret Indonesia tayang dalam serial HBO berjudul "The Last of Us". Serial ini sendiri diadaptasi dari gim video dengan judul yang sama. Cerita utamanya mengisahkan perjuangan Joel (diperankan oleh Pedro Pascal) untuk bertahan hidup di dunia apokaliptik yang disebabkan serangan jamur Cordyceps.

Jamur ini memang ada di dunia nyata, tetapi tidak mampu menginfeksi manusia. Sedangkan dalam film ini, jamur tersebut menyebabkan manusia menjadi haus darah akibat menghirup sporanya.

Pada episode yang mengambil latar di Indonesia, Christine Hakim tampil sebagai ahli mikologi Universitas Indonesia, Profesor Ratna. Namun yang menarik serial The Last of Us, yakni Indonesia ditayangkan dengan gradasi warna kuning. Warna gambar ini berbeda ketika cerita serial tersebut berada di Amerika Serikat. Mengapa demikian?

Pada awalnya, film berwarna hitam dan putih. Menurut para pakar film Hollywood, dikutip dari Mashable, teknologi pewarnaan baru ada sekitar 1930-an. Pewarnaan gambar kemudian diwajibkan dalam produksi film pada 1960-an. 

Ahli perfilman Stuart Blake Jones, bersama rekan-rekannya dalam buku "Film into Video: A Guide to Merging the Technologies" menulis, perkembangan penyuntingan warna pun berkembang di dekade-dekade berikutnya. Pada 1978, sistem pengoreksi warna pun diperkenalkan, dan berlanjut pada 1984 dengan fitur bantuan kontrol komputer.

Ada tiga warna kontrol utama dalam gradasi: merah, hijau, dan biru. Gradasi kemudian menyesuaikan gambar agar tidak terlalu biru, hijau, atau warna merah. Pemberian gradasi warna bukan lagi sekadar warna, tetapi memiliki makna.

Christine Hakim berperan sebagai ahli mikologi Universitas Indonesia, profesor Ratna, di serial The Last of Us (HBO)

Salah satunya yang memelopori adalah film "Traffic" tahun 2000 yang disutradarai Steven Soderbergh dan diproduseri Edward Zwick. Film itu memberi tiga warna pada latar tempat berbeda-beda, termasuk berlatar Meksiko dengan warna jingga.

"Soderbergh menginginkan isyarat visual yang jelas untuk memberi tahu Anda cerita mana yang Anda ikuti. Jadi dia menggunakan teknik warna yang berbeda untuk masing-masing dari tiga cerita tersebut," kata John D'Amico, kepala video Mashable.

Arti dari gradasi warna menciptakan stereotip berbahaya

Dengan kata lain, penggunaan warna pada awalnya sebuah eksperimen untuk membedakan tempat berdasarkan film, tanpa tujuan tertentu. Namun, pemakaian makin marak di berbagai film dan serial. Warna yang sangat berbeda diberikan di negara-negara lain ketika ditayangkan.

Gradasi warna kuning tidak hanya pada Indonesia. Beberapa kali film atau serial dari Amerika Serikat memberikan warna tersebut di banyak negara lain. Beberapa di antaranya, Meksiko yang ditampilkan lewat serial Netflix "Breaking Bad", dan film Lebanon di film "Beirut". Semuanya diberi gradasi warna kuning atau jingga.

“Sutradara Hollywood biasanya menggunakan tiga palet warna dalam film mereka,” kata Milica Pesic, Direktur Eksekutif Media Diversity Institute (MDI) dilansir dari Euronews

“Amerika Latin, Afrika, atau Asia Selatan biasanya ditutupi palet kuning, negara-negara maju secara ekonomi, seperti AS, berwarna biru, sedangkan abu-abu dicadangkan untuk Eropa Timur, menunjukkan kesuraman, depresi, ketidakbahagiaan,” imbuhnya.

Salah satu adegan dengan lokasi di Meksiko dalam serial 'Breaking Bad'. (Sony Pictures Television)

Perbedaan gradasi warna ini langsung disadari oleh banyak orang. Di media sosial seperti Twitter, bertebaran meme terkait perbedaan gradasi warna gambar ketika film Amerika Serikat berlatar di negaranya sendiri, dan negara lain.

Warna pada gambar memberi dampak secara psikologis. “Untuk meninggalkan kesan terbesar pada audiens Anda, gambar Anda tidak hanya akurat, mereka harus mengatakan sesuatu secara emosional. Mereka harus selaras secara kreatif dengan cerita yang Anda ceritakan,” tulis pembuat Noam Kroll di blognya. Kroll adalah seorang sineas yang pernah menyutradarai film "Shadows On The Road" (2018).

Baca Juga: Kapitalisme Pemerintah Hindia Belanda dalam Prosesi Ibadah Haji

Baca Juga: Mengenal Ouija, Permainan Pemanggil Entitas Gaib dalam Film 'Veronica'

Baca Juga: Ternyata, Aplikasi Kencan Daring Dapat Menimbulkan Ketimpangan Ras

Baca Juga: Bias Gender Menghalangi Laki-Laki pada Beberapa Jalur Karier

“Palet warna tertentu menarik pemirsa dan menciptakan rasa nyaman, sementara yang lain mengisolasi pemirsa dan membuat mereka merasa bingung. Sama seperti beberapa menciptakan suasana nostalgia sementara yang lain membangkitkan ketegangan dan ketabahan,” lanjutnya.

Pesic memperingatkan bahwa pemberian gradasi warna pada film jika dilakukan secara berlebihan dalam mencitrakan negara lain, bisa menimbulkan stereotip. Penilaian warna yang ceroboh atau klise membuat hasil film berisi bias pembuat film. Penonton akan menghubungkan tentang suatu daerah dengan emosi yang didapat dari palet warna.

MDI sebagai salah satu lembaga yang mengungkapkan masalah ini berpendapat, mungkin banyak sineas yang menyadari masalah ini. Namun, yang dipermasalahkan oleh Pesic adalah pembuat film yang mengejar hiburan, kerap tidak ingin dimintai pertanggungjawaban terkait bias yang menyebarkan stereotip.

“Mereka peduli dengan cerita dan bagaimana menyampaikan cerita itu kepada pemirsa. Jika cerita itu menumbuhkan citra bahwa seluruh negara itu kotor dan berbahaya, itu dapat merusak tempat itu, bahkan pada tingkat ekonomi,” katanya.

“Mengapa tidak menggambarkan negara sebagaimana adanya?” tanya Pesic. “Mengapa kreativitas berhenti saat melihat kenyataan?”