Nationalgeographic.co.id—Pada tanggal 6 Februari 2023, pukul 04.17 dini hari waktu Turki atau pukul 8.17 WIB, terjadi gempa kerak dangkal dengan magnitudo 7,8. Pusat gempa berada di kedalaman 24,1 kilometer.
Selang 15 menit kemudian gempa kedua terjadi dengan magnitudo 6,7. Episenter terletak 23 kilometer timur Nurdagi, Provinsi Gaziantep, Turki selatan, dekat perbatasan Suriah yang memiliki kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Pusat gempa ini berada di persimpangan tiga Lempeng Anatolia, Arab, dan Afrika.
Ini merupakan salah satu gempa dengan mekanisme geser (strike-slip) yang berpusat di darat yang terbesar dan berdampak langsung di daerah padat penduduk. Hingga tanggal 7 Februari 2023, dikabarkan lebih dari 4,800 orang tewas akibat gempa yang mengguncang Turki dan Suriah itu.
Gempa juga berdampak besar di negara-negara sekitarnya, seperti Lebanon, Irak, Israel, Paletina, dan Siprus. Jumlah korban diperkirakan akan bertambah karena upaya pertolongan dan penyelamatan masih berlangsung.
Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), dalam keterangan tertulisnya, menyoroti kombinasi beberapa faktor yang membuat gempa menimbulkan banyak korban jiwa. Pertama adalah faktor bahwa waktu kejadian gempa pada pukul 04.17 dini hari, yang berarti bahwa banyak orang sedang tidur di tempat tinggalnya.
Kemudian, faktor kedua adalah lokasi gempa menghantam wilayah berpenduduk padat. Lalu fakot ketiga adalah kualitas bangunan yang tidak kuat untuk mengantisipasi guncangan gempa sehingga banyak bangunan runtuh dan banyak orang terperangkap ketika rumah atau gedung tempat tinggal mereka runtuh.
Turki pada dasarnya merupakan sarang aktivitas seismik karena berada di dua patahan besar di Lempeng Anatolia. Keduanya adalah Patahan Anatolia Utara (Northern Anatolian Fault/NAF) yang melintasi Turki dari barat ke timur dan Patahan Anatolia Timur (East Anatolian Fault/EAF) yang ada di wilayah tenggara negara itu. Gempa baru tersebut terjadi di garis patahan yang relatif tenang.
Belajar dari gempa Turki, Indonesia juga merupakan sarang aktivitas gempa karena terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia yang bergerak relatif saling mendesak satu dengan lainnya. Ketiga lempeng tersebut adalah Lempeng Samudera India-Australia di sebelah selatan, Lempeng Samudera Pasifik di sebelah timur, dan Lempeng Eurasia di sebelah utara. Lalu ada pula Lempeng Laut Philipina.
Baca Juga: Sesar Baribis di Jakarta Selatan Aktif dan Bisa Sebabkan Gempa Besar
Baca Juga: Pembangun Apartemen Singkap Korban Wabah Saat Great Northern War
Baca Juga: Tinggal di Apartemen di Zaman Romawi Kuno, Samakah dengan Masa Kini?
Di setiap pulau di Indonesia juga terdapat berbagai sesar, baik yang aktif maupun tidak aktif. Banyak warga di kota-kota besar Indonesia tinggal di gedung bertingkat tinggi (high rise buildings) seperti di apartemen dan rumah susun. Lebih dari itu, banyak kota besar ini berada di atas atau di dekat patahan/sesar aktif yang berisiko tinggi terjadinya gempa besar.
Oleh karena itu, MPBI menyerukan untuk warga bersama para pengelola bangunan beserta pemerintah daerahnya untuk melakukan audit keamanan struktural gedung, termasuk kekuatan, keteraturan, redundansi, pondasi, dan jalur beban karena peluang orang selamat dari bangunan menjadi sangat kecil bila terjadi kerusakan struktural termasuk runtuhnya bangunan dan rumah.
MPBI juga menyerukan perlunya penyusunan prosedur tanggap darurat secara tertulis bersama penghuni dan pengelola gedung dan mewajibkan pengelola untuk melakukan sosialisasi prosedur tanggap darurat ke seluruh penghuni.
"Melakukan kesiapsiagaan non-struktural karena sering pula cedera dan korban jiwa yang terjadi adalah akibat dari benda-benda yang tidak aman dan bisa menimpa atau mencelakakan penghuninya. Melakukan simulasi rutin setiap tahun yang diikuti oleh seluruh penghuni bekerja sama dengan pengelola gedung dan pemerintah setempat," seru MPBI.