Kesempatan Kedua untuk Melindungi Lahan Basah, Jangan Disia-siakan!

By Utomo Priyambodo, Kamis, 16 Februari 2023 | 17:00 WIB
Lima negara dengan kehilangan lahan basah tertinggi, Amerika Serikat, Tiongkok, India, Rusia, dan Indonesia, menyumbang lebih dari 40% kehilangan global. (Kirill Shakhmatov)

Nationalgeographic.co.id—Kesempatan tidak datang dua kali, kata pepatah. Namun, ternyata kita manusia masih diberi kesempatan sekali lagi untuk melindungi lahan basah.

Lahan basah adalah salah satu ekosistem yang paling terancam di dunia. Sebuah studi baru, yang diterbitkan di jurnal Nature, telah menemukan bahwa hilangnya area lahan basah di seluruh dunia sejak tahun 1700 kemungkinan besar dilebih-lebihkan.

Ini adalah kabar baik secara keseluruhan. Namun begitu, gambaran global menyembunyikan variasi yang signifikan, dengan beberapa wilayah dan jenis lahan basah yang berbeda berada di bawah tingkat tekanan yang signifikan.

Misalnya, dataran banjir sungai beriklim sedang sangat terpengaruh sementara lahan gambut boreal-arktik yang terpencil relatif tidak terluka. Meski konversi dan degradasi lahan basah telah melambat secara global, hal itu terus berlanjut di beberapa wilayah, seperti di Indonesia.

Sebagian besar lahan di Indonesia, misalnya, masih dan semakin dibuka untuk perkebunan kelapa sawit dan penggunaan pertanian lainnya. Perspektif global baru tentang hilangnya lahan basah ini dapat membantu memprioritaskan tindakan konservasi dan restorasi.

Lahan basah kini dipahami sebagai sumber penting untuk pemurnian air, pengisian air tanah, dan penyimpanan karbon. Namun, lahan basah secara historis dipandang sebagai daerah tidak produktif yang penuh dengan serangga pembawa penyakit dan hanya baik untuk mengeringkan tanaman atau memanen gambut untuk bahan bakar atau pupuk.

Seiring waktu, drainase yang tak henti-hentinya dialihkan untuk konversi ke lahan pertanian dan daerah perkotaan. Aktivitas ini bersama dengan perubahan yang disebabkan oleh kebakaran dan pengambilan air tanah telah menjadikan lahan basah sebagai salah satu ekosistem yang paling terancam di dunia.

Hingga saat ini, kurangnya data historis telah menghambat upaya untuk memahami dampak global sepenuhnya dari hilangnya lahan basah. Hal ini memaksa para ilmuwan untuk membuat estimasi berdasarkan kumpulan data regional yang tidak lengkap.

Peta ini menunjukkan perbedaan dalam distribusi geografis lahan basah yang terkena dampak antropogenik versus lahan basah yang tidak terkena dampak dan estimasi persentase kumulatif hilangnya lahan basah antara tahun 1700 hingga 2020. (Etienne Fluet-Chouinard)

Dalam rekonstruksi sejarah jenis pertama, tim riset yang terdiri atas para peneliti dari universitas Stanford University, Cornell University, dan McGill University, menyisir ribuan catatan drainase lahan basah dan perubahan penggunaan lahan di 154 negara.

Tim peneliti memetakan distribusi lahan basah yang dikeringkan dan diubah menjadi peta lahan basah saat ini untuk mendapatkan gambaran seperti apa area lahan basah asli pada tahun 1700.

Para peneliti menemukan bahwa luas ekosistem lahan basah telah menurun antara 21-35 persen sejak tahun 1700 akibat campur tangan manusia. Itu jauh lebih kecil dari kehilangan 50-87 persen lahan basah yang diperkirakan oleh beberapa penelitian sebelumnya.