Nationalgeographic.co.id—Kaisar Tiongkok disebut juga Putra Surgawi. Di dunia, mereka menjadi wakil dewa untuk umat manusia. Namun apakah mereka benar-benar seseorang yang turun dari surga? Bagaimana awal mula penyebutan Putra Surgawi ini?
Mandat Surga (Tianming) adalah sumber otoritas ilahi dan hak untuk memerintah bagi raja dan kaisar Tiongkok awal.
Dewa kuno atau kekuatan ilahi, dikenal sebagai Surga atau Langit, memilih individu tertentu untuk memerintah atas namanya di bumi.
Elemen penting dari mandat adalah meski diberi kekuasaan besar, penguasa memiliki kewajiban moral untuk menggunakannya demi kebaikan rakyatnya. Jika tidak, maka kerajaan atau kekaisarannya akan mengalami bencana yang mengerikan dan ia kehilangan hak untuk memerintah.
Wen, Penguasa Tiongkok kuno yang pertama mengeklaim Mandat Surga
Penguasa Tiongkok pertama yang mengeklaim posisi dan otoritasnya datang langsung dari Surga, dalah Raja Wen dari Zhou. Zhou adalah negara feodal pra-dinasti di lembah sungai Wei di Tiongkok. “Bagi rakyat Zhou, Mandat Surga merupakan kekuatan ilahi tertinggi,” tulis Mark Cartwright di laman World History Encyclopedia.
Memiliki tradisi pemujaan leluhur, raja legendaris ini dikenal sebagai 'Putra Surgawi'. Dia dianggap sebagai kepala keluarga kerajaan, bangsawan, negara bagian, peradilan dan hierarki agama.
Gagasan tentang bantuan ilahi selanjutnya didukung oleh konjungsi lima planet besar di langit malam pada 1059 Sebelum Masehi.
Ketika Wen dan penerusnya meninggal, diperkirakan bahwa mereka naik ke Surga dan bertugas di istana Surga. Kaitannya dengan Surga memastikan bahwa para penguasa dan kaisar diperlakukan dengan sangat hormat dan kagum oleh siapa pun. Bahkan, mereka yang pernah melakukan kontak fisik dengan kaisar dianggap sangat beruntung. Pasalnya, kaisar adalah Putra Langit.
Wen menjadi teladan kaisar yang baik
Wen menjadi model bagi banyak raja, kaisar, politisi, dan sejarawan berikutnya. Ia juga jadi simbol pemerintahan yang baik, karena masa pemerintahannya berlangsung panjang dan damai selama abad ke-11 Sebelum Masehi.
Kebajikan pemerintahan Wen sangat kontras dengan reputasi buruk yang diperoleh pendahulunya Raja Chou. Dalam ajaran Konfusius, Wen dijadikan contoh yang ideal. Sang raja bahkan sering dikutip oleh penulis seperti Mencius sebagai contoh hebat dari seorang penguasa yang setiap keputusannya didasarkan pada kepentingan terbaik rakyatnya. Wen bahkan berbagi kesenangannya dengan rakyat.
Mencius menunjukkan bahwa Surga tidak menciptakan manusia demi penguasa. Surga menjadikan penguasa demi rakyat. Oleh karena itu, penguasa harus selalu berpedoman pada prinsip kebajikan.
Seorang raja atau kaisar Tiongkok adalah ibu dan ayah dari rakyat. Maka dianggap sah jika rakyat menggulingkan kaisar jika dianggap tidak mampu memenuhi mandat. Semua itu ditandai dengan banjir, kekeringan, dan bencana lain yang menimpa kekaisaran atau kerajaan. “Dalam hal ini, rakyat juga diperbolehkan untuk protes atau memberontak,” kata Cartwright lagi.
Evolusi Mandat Surga dari waktu ke waktu di Kekaisaran Tiongkok
Para penguasa awal negara bagian Qin selama periode Negara-Negara Berperang (Warring States Period) mengeklaim mewarisi jubah perwakilan Surga dari Zhou.
Namun penguasa selanjutnya seperti kaisar pertama Tiongkok Shi Huangdi dari Qin dan Kaisar Han Gaozu tidak terlalu peduli dengan legitimasi itu. Mereka lebih cenderung menganggap posisi tersebut diperoleh berkat supremasi dan kekuatan militer. Ini bisa dimengerti karena para kaisar itu mendapatkan hak untuk memerintah dengan penaklukan kerajaan saingan.
Para pemikir selanjutnya seperti Liu Zongyuan dan Zhu Xi melangkah lebih jauh dengan mengeklaim bahwa kaisar sama sekali bukan instrumen ketuhanan. Namun, kaisar adalah instrumen fungsionaris yang diperlukan dalam tatanan kehidupan. Tetap saja, konsep Mandat Surga terus digunakan sebagai argumen legitimasi yang berguna untuk pemerintahan kaisar. Bahkan penakluk kaisar asing menggunakannya hingga abad ke-19 Masehi.
Selain pergeseran posisi pada sumber otoritas kaisar, kaisar Tiongkok tidak bisa melakukan semua yang dia inginkan. Meski ia dikatakan memiliki kekuasaan tidak terbatas. Besarnya kekaisaran dan adanya birokrasi membuat kaisar bergantung pada penasihat dan pendukung setia untuk menjalankan kebijakannya.
Baca Juga: Hilangnya Simbol Mandat dari Surga Milik Kaisar Tiongkok Qin Shi Huang
Baca Juga: Penguasa Tiongkok Mengeklaim Kekuasaannya Didasari Atas 'Mandat Surga'
Baca Juga: Kaisar Giok, Penguasa Surga dan Semua Alam dalam Kepercayaan Tionghoa
Baca Juga: Kisah Xian, 'Kaisar Boneka' di Masa Kemunduran Dinasti Han Tiongkok
Sejarawan R. Dawson mengungkapkan, “ Bahkan kaisar yang paling otokratis pun pasti dibatasi oleh tradisi, konvensi, dan preseden. Juga oleh tekanan kerabat serta oleh kebutuhan untuk bergantung pada pejabat yang terinformasi dengan baik. Meskipun kadang-kadang kaisar dapat berperilaku kasar, hak mereka untuk bertindak sewenang-wenang jarang dilakukan.”
Kaisar tetap menjadi sosok yang sangat berpengaruh dan mempertahankan hak-hak seperti pemberian janji dan bantuan, hukuman dan pengampunan. Namun kebijakannya dibatasi oleh para pendahulunya, terutama pendiri dinasti yang dipandang sangat disukai oleh Surga. Bagian inilah yang dianggap sebagai instrumen ilahi. Jika semua penguasa diamanatkan demikian, maka kebijakan mereka harus dihormati.
Misalnya kebijakan kaisar pendiri seperti mempertahankan perbatasan tetapi tidak secara aktif mengejar musuh ke wilayah mereka masih terus dihormati. Jadi, bahkan 'Putra Surgawi' bekerja dalam keterbatasannya.