Di Hutan Hujan Kalimantan, Manusia dan Babi Berjanggut Saling Terikat

By Utomo Priyambodo, Selasa, 7 Maret 2023 | 13:00 WIB
Babi berjanggut di hutan hujan Kalimantan atau Borneo. (Jessica Suarez via Berkeley Rausser )

Tim peneliti memperkirakan bahwa kemunculan babi di daerah yang lebih dekat dengan jalan dan permukiman dikaitkan dengan proporsi sedang hingga rendah dari komunitas yang sama.

Studi ini memberikan bukti kuantitatif untuk keberlanjutan tradisi perburuan babi oarang pribumi dan kemunculan babi di berbagai bentang alam. Jadi, hasil penelitian ini memberikan dukungan empiris untuk hak berburu pribumi, yang telah dipegang oleh masyarakat lokal di Borneo Malaysia selama ribuan tahun.

Babi berjanggut penting bagi komunitas Kadazandusun-Murut (KDM) Borneo di Sabah, dan komunitas Iban di Sarawak. Babi tidak hanya menjadi sumber daging yang disukai orang lokal, tetapi perburuan merupakan batu ujian budaya yang penting bagi banyak orang.

Selama penelitian ini, strain demam babi afrika (African Swine Fever/ASF), yang menyebabkan kematian tinggi pada babi domestik dan liar, berjangkit di wilayah studi mereka. Wabah tersebut menimbulkan kekhawatiran di antara beberapa komunitas lokal menurut rekan penulis Esther Lonnie Baking, seorang mahasiswi PhD di Universiti Malaysia Sabah.

“Rendahnya pasokan daging babi berdampak pada penjual dan konsumen, yakni harga per kilogram naik tiga kali lipat dari harga normal sebelum kejadian ASF,” ujar Baking, seperti dikutip dari laman University of California - Berkeley.

"Orang-orang leih memilih berhenti membeli daging babi," imbuhnya.

Menurut Kurz, babi berjanggut mampu bereproduksi secara cepat. Dengan makanan yang cukup, seekor babi betina dapat melahirkan selusin atau lebih anak babi dalam satu tahun.

Para peneliti menyarankan agar para pemimpin adat dan pejabat pemerintah dapat menilai dengan lebih baik keberlanjutan praktik perburuan selama wabah ASF dengan membandingkan lintasan pemulihan dengan perkiraan populasi dasar.

Ikatan yang dalam antara manusia dan babi di Kalimantan menggarisbawahi pentingnya memahami hubungan kita yang lebih luas dengan alam.

Jadi, memasukkan pengaruh manusia, seperti kekayaan, kebisingan, pendakian dan rekreasi, polusi cahaya, praktik penangkapan ikan, dan distribusi taman kota, dalam studi satwa liar dapat membantu peneliti menentukan cara orang membentuk distribusi satwa liar.

Memahami gambaran yang lebih lengkap tentang hubungan manusia-lingkungan, kata Kurz, dapat membantu kita menyeimbangkan keberlanjutan sosial dan ekologis jangka panjang.