Anak Pesantren Lekat dengan Budaya Antre Demi Memupuk Sikap Sabar

By Galih Pranata, Kamis, 9 Maret 2023 | 09:00 WIB
Pagi hari, kiai adat dan santri mengantre memasuki Masjid Bayan Beleq untuk menunaikan ibadah salat Idulfitri. Salat Idulfitri ini hanya dilakukan oleh 44 orang kiai adat dan kiai santri, dan tidak sembarang orang diperkenankan untuk memasuki tempat ini. (Syafiudin Vifick/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Budaya antre bisa dikatakan sebagai bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Barangkali banyak orang menyebut bahwa budaya ini lahir dari pesatnya pertumbuhan penduduk di Indonesia.

Alih-alih mengiyakan pernyataan tersebut, penulis melihat budaya antre dalam perspektif lain. Ia sangat lekat dan mengakar dengan pendidikan bagi 'anak pesantren.' Berangkat dari tajuk anak pesantren, saya sejatinya lahir dan tumbuh dari lingkungan pesantren.

Anak pesantren atau santri tak pernah tidak terlibat dalam antre mengantre selama hidup di pesantren. Antre adalah bagian yang selalu mudah dijumpai di setiap agenda mereka. Santri akan mengantre saat akan makan, mandi, sampai saat mereka akan dihukum karena melanggar aturan pondok.

Entah disengaja atau memang sudah jalannya, mengantre begitu saja melekat sejak awal para santri memulai kehidupannya di pondok. Mau tak mau, santri berlatar hidup dari keluarga yang kurang hingga dari keluarga kaya raya, tetap harus mengantre.

Sebut saja ketika para santri akan memulai harinya untuk mandi, kamar mandi akan selalu terisi. Tak hanya itu, sudah banyak santri lainnya yang menunggu gilirannya untuk mandi. Ada budaya unik yang pernah saya alami selama nyantri.

Alih-alih orangnya yang mengantre, melainkan gayung-gayung yang sudah berbaris rapi mengantre sembari diawasi empunya, menunggu gilirannya. Di dalam gayung-gayung yang mengantre, berisikan alat-alat mandi kepunyaan si empunya.

Saat orang di dalam kamar mandi telah keluar menuntaskan hajatnya, gayung selanjutnya akan mendapat giliran mandi. Begitu pun seterusnya. Budaya ini akan di alami santri tidak hanya sehari dua hari, mereka akan terbiasa dari awal hingga lulusnya.

Selepas mandi, ketika menjelang sarapan, demi mengambil nasi di math'am (dapur), secara bergantian mereka harus mengantre. Tak jarang, antreannya mengular dan jadi satu alasan klasik bagi santri yang kelak terlambat masuk kelas. "Tadi antrenya panjang, tadz," begitu kiranya alasan itu terlontar ketika ditanya mengapa terlambat.

Selain soal makan dan mandi, setiap iqab (hukuman) ketika seorang santri melanggar aturan yang ada, mereka juga akan mengantre. Secara bergantian ketika akan dihukum oleh qismul amn (bagian kedisiplinan pondok), mereka akan berbaris dan menunggu gilirannya mendapatkan hukuman.

Hampir setiap elemen kegiatan dan rutinitas di pondok tidak melulu dicapai dengan cara instan. Lantas, bagaimana sebenarnya manfaat di balik budaya mengantre? Bagaimana di hampir seluruh pesantren ditemukan budaya antre?

Suasana budaya antre mandi di Pondok Pesantren Imam Syuhodo, Sukoharjo sekitar awal 2000-an. Terlihat sejumlah santri berkalung handuk dalam budaya mengantre mandi. (Agus Rumpoko)

Harintaka, seorang Doktor dari Universitas Gadjah Mada menyebut dalam laman websitenya dengan tajuk Renungan (2006), bahwa "budaya antre tercipta pada lingkungan yang relatif well educated."