Ibnu Batutah, Penjelajah Gurun yang Ditawan akibat Terlalu Pandai

By Utomo Priyambodo, Kamis, 16 Maret 2023 | 16:00 WIB
Ibnu Batutah adalah salah satu penjelajah terbesar dalam sejarah. Ia terkenal sebagai penjelajah gurung terbesar di abad pertengahan. ( Imre Solt/Worldhistory.org)

Nationalgeographic.co.id - Ibnu Batutah adalah penjelajah terbesar pada abad pertengahan (35-1450 Masehi). Sekitar musim gugur tahun 1351, ia memulai perjalanannya menejalajahi gurun terluas di dunia, Gurun Sahara.

Gurun Sahara berada di utara Afrika. Membentang dari Samudra Atlantik, hingga Laut Merah. Gurun ini kini melawati wilayah sepuluh negara: Tunisia, Aljazair, Mauritania, Mali, Nigeria, Libya, Chad, Sudan, Eritrea, dan Mesir. Totalnya, gurun ini meliputi area seluas 9.065.000 kilometer persegi.

Pada masa itu, tak seorang pun tahu misteri apa yang bersemayam di Sahara. Ibnu Batutah mencoba menyusuri ruto kuno yang biasa dilalui pedagang garam dan emas. Ia kemudian mengetahui bahwa Sahara tak sekadar dataran luas berpasir.

Ibnu Batutah menemukan Pegunungan Ahaggar (Aljazair) dengan sejumlah puncak setinggi 3.000 meter. Ia juga menjumpai sungai besar seperti Sungai Niger, daerah berawa, dan oasis-oasis yang subur.

Penjelajah kelahiran 24 Februari 1304 itu juga singgah di sejumlah kota datang. Lelaki yang wafat pada 1369 itu juga sempat bertemu suku-suku pemburu hingga melihat hewan-hewan khas Afrika yang hampir tak pernah dikenalnya.

Ibnu Batutah melakukan perjalanan jauh pertamanya pada tahun 1325 saat ia melakukan ibadah haji di Mekkah, seperti dikutip dari buku Great People: Fascinating Moments dan Stories Behind. Pria kelahiran Tangier, Maroko, itu tak segera kembali ke kampung halamannya setelah ibadah haji.

Selama kurang lebih 30 tahun berikutnya, Ibnu Batutah melakukan penjelajahan dari Spanyol sampai ke Tiongkok, dari Timbuktu hingga padang stepa Rusia.

Ibnu Batutah tak sekadar menjelajah dan mengunjungi banyak negeri. Ia juga mengamalkan pengetahuan dan ilmu yang dimilikinya. Ia termasuk cendekia di negerinya.

Baca Juga: Edmund Hillary, Kutu Buku Jadi Orang Pertama Mencapai Puncak Dunia

Baca Juga: Kisah Vasco da Gama, Penjelajah Sekaligus Penakluk dari Portugal

Baca Juga: Pengalaman Berbeda dalam Pendakian dan Penjelajahan Gunung Rinjani 

Pada usia 20 tahun, Ibnu Batutah menyelesaikan pendidikannya di Maliki Madhhab (sekolah hukum Islam). Pengetahuannya itu memungkinkannya memangku jabatan sebagai qadi atau hakim.

Ibnu Batutah mengamalkan ilmunya dengan mengabdi kepada Sulta Delhi, Muhammed Tughlaq. Ia diangkat sebagai qadi dan duta besar. Di Maladewa pun ia sempat menjadi qadi selama beberapa bulan.

Kepandaian dan pengetahuan yang diperoleh Ibnu Batutah selama penjelajahannya dianggap sangat berharga. Penguasa Maladewa sampai menggunakan segala cara agar Ibnu Batutah tidak pergi dari Maladewa. Ibnu Batutah diberi kedudukan tinggi, dinikahkah dengan putri kerajaan, sampai ditawan di istana.

Tak hanya penguasa Maladewa, banyak penguasan daerah lain juga kagum pada Ibnu Batutah. Sering kali Ibnu Batutah dijamu oleh para penguasa wilayah yang dikunjunginya. Kisah-kisah perjalanannya sangat memesona mereka.

Pada suatu kesempatan, Ibnu Batutah memperoleh hadiah dari Kaisar Byzantium, Andronicus III Palaelogus. Sang Kaisar begitu menghargai kisah dan gambaran Ibnu Batutah mengenai Yerusalem.

Ibnu Batutah mengakhiri penjelajahannya setelah Sultan Maroko memerintahkannya kembali pulang. Batutah kemudian memangku jabatan sebagai qadi di sana hingga akhir hayatnya.

Karena riwayat perjalanannya, Ibnu Batutah dijuluki sebagai Marco Polo Arab. Bahkan, para sejarawan barat menganggap bahwa ia melampaui Marco Polo.

Ibnu Batutah menempuh perjalanan sejauh 120.700 kilometer. Perjalanannya ini meliputi wilayah 44 negara yang kini tercantum dalam atlas modern.

Sampai saat ini, Ibnu Batutah dianggap sebagai salah seorang penjelajah terbesar dalam sejarah. Apalagi ia sempat menuliskan hasil penjelajahannya itu dalam sebuah buku berjudul Rihla, yang berarti perjalanan.

Rihla seperti sebuah kamera dokumenter. Ibnu Batutah mengungkapkan semua pengalamannya dengan tulus dan jujur. Tak heran, hingga saat ini Rihla dianggap sebagai sumber terpercaya sejarah sosial budaya dan geografi dunia di abad pertengahan.