Hati-hati, Jangan Sampai Kita Terkecoh Makalah Ilmiah Pracetak!

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 16 Maret 2023 | 08:00 WIB
Ilustrasi ilmuwan dalam penelitian. Hasil laporan mereka dibuat dalam makalah pracetak yang belum ditinjau sejawat. Masyarakat harus tahu perbedaan makalah pracetak dan makalah ilmiah. (jarmoluk/pixabay)

Nationalgeographic.co.id—Sebuah makalah penelitian, sebelum dipublikasikan dalam jurnal harus melewati tinjauan sejawat (peer review). Peninjau makalahnya adalah para ahli yang harus bersikap objektif, dan tidak terlibat dalam penelitian itu sendiri agar bisa mevalidasi secara ilmiah suatu temuan.

Makalah penelitian yang belum ditinjau disebut pracetak. Makalahnya sering beredar di komunitas ilmiah agar memantik ahli atau ilmuwan lainnya, bisa melanjutkan penelitian yang berkaitan, atau yang serupa.

Namun, pandemi COVID-19 menyebabkan kebanjiran makalah pracetak yang membanjiri internet, menurut sebuah studi di jurnal Health Communication22 Januari 2023. Menurut para peneliti, penyebarannya berhubungan dengan keinginan masyarakat untuk mendapatkan informasi ilmiah, atau kalangan ahli sendiri yang ingin secepat mungkin menghasilkan laporan.

“Sebelum pandemi, yaitu saat pelaporan pracetak benar-benar menggelembung, tujuan utama pracetak adalah agar para ilmuwan membagikan temuan mereka dengan ilmuwan lain,” kata Chelsea Ratcliff, penulis utama studi dan asisten profesor di Department of Communication Studies, University of Georgia.

“Mereka tidak dimaksudkan untuk memengaruhi kebijakan publik, sikap atau perilaku. Dan itu adalah sesuatu yang perlu diingat bagi para pembaca,” lanjutnya di laman University of Georgia.

Masalahnya, laporan ilmiah pracetak yang jumlahnya banyak ternyata dapat merusak kepercayaan dari berita ilmiah. Pada akhirnya membuat ketidakpercayaan publik terhadap sains karena temuan dan bagaimana suatu temuan bisa diungkap, tidak dijelaskan dengan jelas. 

“Dengan pracetak, masih ada ketidakpastian yang belum terselesaikan,” kata Ratcliff. “Banyak pracetak bahkan tidak pernah diterbitkan. Saya benar-benar berpikir penting bagi publik untuk memahami itu."

"Jika orang mendasarkan sikap, misalnya, tentang obat baru berdasarkan bukti dari pracetak atau jika mereka mendasarkan keputusan kesehatan pada pracetak, mereka harus dapat memahami sifat awalnya," lanjutnya.

Ratcliff dan rekan-rekan dalam makalah bertajuk "Framing COVID-19 Preprint Research as Uncertain: A Mixed-Method Study of Public Reactions" mengungkapkan bahwa mayoritas orang tidak memahami perbedaan antara pracetak dan artikel jurnal akademik yang sudah terbit.

Studi itu mengungkapkan bahwa mereka tidak mengetahui apa sebenarnya makalah pracetak dalam publikasi ilmiah. Hal itu diungkap oleh Ratcliff dan rekan-rekan dengan 415 orang peserta dengan membaca artikel berita tentang penelitian pracetak terkait COVID-19. Fokusnya pada hubungan efek samping dan kemanjuran vaksin COVID-19.

Para peserta dibagi dalam kelompok yang membaca "studi pracetak yang baru saja dipublikasikan daring dan belum dievaluasi oleh pakar" dan dengan label "studi".

Baca Juga: Polemik Sci-Hub: Penolong atau Penghambat Perkembangan Sains Dunia?