Bagaimana Budak Memperkenalkan Ramadan Kepada Amerika Serikat?

By Galih Pranata, Rabu, 19 April 2023 | 10:00 WIB
Perbudakan di Amerika Serikat mendorong tersebarnya agama Islam, hingga Ramadan dipercaya diperkenalkan oleh budak Muslim dari Afrika. (Slavery and Remembrance)

Nationalgeographic.co.id—Ramadan adalah bulan kesembilan dari kalender lunar Islam, salah satu waktu yang dianggap sakral dan paling suci bagi segenap umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Bulan suci ini merupakan bulan di mana Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama berupa kitab suci yang menjadi pedoman dan tuntunan bagi seluruh umat Islam, tentang bagaimana cara mereka menjalani kehidupan yang baik, berdasar pada Al-Quran.

Sepanjang bulan ini, kaum muslim memiliki tujuan yang sama, yakni untuk membangun kembali hubungan baik secara iman dengan keluarga, dan komunitas mereka melalui aspek komunal di bulan Ramadan.

Ditetapkan dalam Quran, puasa adalah salah satu dari lima rukun Islam. Puasa melibatkan sejumlah penempaan iman dengan berbagai pantangan untuk tidak makan dan minum, sejak terbit fajar hingga matahari terbenam.

Umat ​​​​Muslim di seluruh dunia berpuasa untuk durasi jam yang berbeda, tergantung pada letak geografis mereka. Muslim biasanya makan makanan ringan sebelum fajar, yang dikenal sebagai "sahur," dan berbuka puasa saat matahari terbenam yang dikenal sebagai "iftar."

Menariknya, pemahaman dan kepercayaan tentang Islam dan bulan suci Ramadan, memiliki dinamika dan sejarah yang unik. "Sejarawan mengeklaim bahwa agama Islam dan Ramadan diperkenalkan oleh para budak," tulis Lalia Alalli kepada The San Diego Union-Tribune.

Ia menuliskan kisah tentang awal masuknya Islam ke Amerika Serikat dalam sebuah artikel berjudul Here’s what the stories of enslaved Muslims teach us about Ramadan’s history in the U.S., yang diterbitkan pada 21 Maret 2023.

Sejarawan menegaskan bahwa Estevanico dari Azamor—dikenal juga sebagai Esteban—yang menemani bangsa Spanyol menjelajah samudra, merupakan Muslim pertama dari Afrika Utara (Azamor, Maroko) yang mendarat di Florida pada tahun 1527.

Diketahui bahwa Esteban dan sebagian besar orang Afrika lainnya yang diperbudak, yang dipaksa pindah dari wilayah muslim Afrika Utara, selama pemukiman kolonial di Amerika Utara, mayoritasnya adalah seorang muslim.

Islam adalah agama dengan pertumbuhan tercepat di negara ini, dan menjadi agama yang paling banyak dipraktikkan kedua di 20 negara bagian ini, setelah agama Nasrani. 

Khaled A. Beydoun menulis kepada The Root dalam artikelnya African Slaves Were the 1st to Celebrate Ramadan in America (2014), bahwa perkembangan pesat persebaran agama Islam telah dibawa oleh sejumlah budak belian dari Afrika yang notabene sudah memeluk Islam sejak awal.

Para ilmuwan sosial telah memperkirakan bahwa sebanyak 30% dari orang-orang Afrika yang diperbudak oleh bangsa Spanyol adalah Muslim. Kebanyakan dari Afrika Utara, serta beberapa berasal dari negara-negara di Afrika Barat dan Tengah.

Setibanya mereka di Amerika Utara, mempertahankan keyakinan Islam mereka sangat berat, karena mereka terpaksa meninggalkan praktik keagamaan mereka. Mereka dipaksa untuk mengambil kebiasaan agama yang dipaksakan secara brutal oleh bangsa Spanyol.

Banyak yang kehilangan iman mereka, kemudian memilih menjadi Kristen. Meskipun ada upaya pemindahan agama secara brutal, banyak Muslim Afrika yang diperbudak berusaha keras mempertahankan aspek akar budaya dan agama mereka, terutama puasa selama Ramadan.

Dikisahkan bahwa terdapat budak yang melarikan diri, bernama Charles Ball. Ia menulis dalam otobiografinya yang digubahnya pada tahun 1837, mengungkapkan kisah seorang Muslim yang diperbudak yang rajin menjalankan salat lima waktu.

Gambaran budak-budak Afrika. Sebagaimana di Amerika Serikat, budak-budak muslim memegang peranan penting dalam mengenalkan Islam dan Ramadan. (WELLCOME COLLECTION)

Contoh lainnya, Salih Bilali, seorang Muslim Afrika yang diperbudak lahir pada tahun 1770 di Massina, yang sekarang dikenal sebagai Mali, diperbudak pada usia 12 tahun. Dia dikenal sebagai orang yang terpelajar, dan seorang Muslim yang religius dan berkomitmen.

"Meski menghadapi banyak tantangan, Bilali tetap berhasil membaca Al-Qur'an, salat, dan menjalankan bulan suci Ramadan dengan baik dan khusyuk," terusnya. Ia tercatat memengaruhi beberapa orang untuk memeluk Islam.

Meskipun Al-Qur'an mengizinkan seorang beriman untuk tidak berpuasa jika dia jauh dari rumah atau terlibat dalam pekerjaan berat, banyak Muslim yang diperbudak menunjukkan kesalehan yang transenden dengan memilih berpuasa Ramadan saat dalam perbudakan.

Baca Juga: Perunggu Benin Dibuat dari Mata Uang Eropa untuk Membeli Budak Afrika

Baca Juga: Wei Qing, Budak yang Tumbuh Jadi Marsekal Agung Kekaisaran Tiongkok

Baca Juga: Wu Si, dari Budak Jadi Permaisuri Kekaisaran Tiongkok yang Berpengaruh

Baca Juga: Layani Kaisar Tiongkok di Akhirat, Harem dan Budak Dikubur Hidup-Hidup 

Sebagaimana sunah dalam ajaran yang dipraktikan Nabi Muhammad SAW, memupuk kebersamaan dalam hal berbuka puasa adalah bagian yang melekat dalam praktik perbudakan para budak Muslim.

Sayangnya, pertemuan sesama budak dianggap telah melanggar kode etik perbudakan. Tak pelak, sejumlah hukuman ditujukan bagi budak yang melanggar aturan hingga mendapat hukuman biadab "yang menyebabkan cidera, bahkan kematian," terus Khaled.

Berkat kegigihan para budak-budak Muslim Afrika menegakkan kesalehannya, agama Islam tetap konsisten untuk tetap eksis hingga UU Perbudakan dimunculkan. Ini menjadi poin penting di mana budak telah memperkenalkan Islam dan Ramadan kepada Amerika.

Sampai hari ini, mulai berdiri komunitas-komunitas Muslim di AS yang merupakan komunitas paling beragam di dunia. Saat ini orang Afrika-Amerika merupakan bagian penting dari perjalanan historis komunitas tersebut, bersama dengan Muslim keturunan Asia Selatan dan Arab yang ada di Amerika Serikat.