Pola Cuaca Buruk di Indonesia Hari Ini Serupa Zaman Es Terakhir

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Rabu, 26 April 2023 | 21:13 WIB
Ilustrasi badai. Cuaca buruk di Indonesia hari ini punya kemiripan dengan pola di Zaman Es Terakhir. Pengetahuan ini membawa wawasan untuk memahami perubahan iklim. (Zika Zakiya)

Nationalgeographic.co.id—Apa yang terjadi pada siklus iklim samudra di seluruh dunia hari ini, punya hubungan satu sama lain. Suhu global yang lebih hangat hari ini mengantarkan beberapa kawasan di dunia, punya cuaca ekstrem seperti siklon tropis di Samudra Hindia dan hurikan di Laut Karibia—bagian dari Samudra Atlantik.

Ternyata, kondisi yang terjadi hari ini memiliki pola iklim yang sama dengan periode Zaman Es Terakhir (Glasial Maksimum Terakhir) yang terjadi pada belasan ribu tahun silam. Kondisi ini kemudian berubah seiring dengan menghangatnya Bumi. Lalu, perlahan-lahan polanya kembali seperti serupa pada hari ini.

"Ini adalah peristiwa yang memengaruhi kehidupan masyarakat dan juga pertanian di wilayah tersebut. Memahami dipol dapat membantu kita memprediksi dan mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk perubahan iklim di masa depan," kata Xiaojing Du. Dia adalah peneliti di Institute at Brown for Environment and Society, Brown University.

Setidaknya, sekitar 18.000 hingga 15.000 tahun yang lalu, pembekuan air di kutub menyebabkan arus laut hangat Samudra Atlantik melemah. Pada akhirnya menimbulkan berbagai rangkaian peristiwa di lautan dan atmosfer. Pola ini memengaruhi Samudra Hindia masa itu yang harus menahan air hangat dan yang lebih dingin di sisinya yang berbeda.

Du bersama timnya di Brown University di jurnal Science Advances, Januari 2023 mengungkapkan hal ini. Dalam makalah bertajuk "North Atlantic cooling triggered a zonal mode over the Indian Ocean during Heinrich Stadial 1", para peneliti membandingkan kondisi iklim masa lalu dari catatan geologi berbeda dengan simulasi model iklim. 

Pola ekstrem ini disebut sebagai dipol. Pola ini dapat mendorong satu sisi kawasan yang memiliki curah hujan lebih tinggi dari rata-rata, sementara sisi lainnya mengalami kekeringan yang meluas.

Dipol terbentuk dari interaksi antara sistem transporatasi panas Samudra Atlantik dan lingkaran Atmosfer yang ada di kawasan tropis Samudra Hindia. Transportasi itu terjadi di atmosfer yang ketinggiannya rendah dan dekat permukaan laut dari timur ke barat, dan bagian atas untuk barat ke timur.

Lingkaran ini terhubung dalam satu lingkaran besar yang menghubungkan kedua samudra, terang para peneliti. Dampaknya, di masa lalu, dipol timur ke barat pada Samudra Hindia terjadi di kawasan yang hari ini kita kenal sebagai Afrika Timur seperti Kenya, Ethiopia, dan Somalia.

Pada Zaman Es Terakhir, kawasan ini lebih dingin daripada perairan di sisi timur Samudra Hindia ke arah Indonesia. Pada akhirnya, hujan lebih sering turun di Indonesia, karena cuaca kering terbawa ke Afrika Timur.

Kondisi Samudra Hindia yang menyebabkan Afrika Timur lebih kering dan Indonesia lebih gampang mengalami cuaca buruk pada Zaman Es Terakhir. (XIAOJING DU et al (2023))

"Kita tahu bahwa saat ini gradien suhu Samudra Hindia penting untuk pola curah hujan dan kekeringan, terutama di Afrika Timur, tetapi sulit untuk menunjukkan bahwa gradien tersebut berubah dalam skala waktu yang lama dan menghubungkannya dengan curah hujan jangka panjang dan pola kekeringan di kedua sisi Samudra Hindia," kata James Russell, salah satu penulis.

 "Kami sekarang memiliki dasar mekanistik untuk memahami mengapa beberapa perubahan jangka panjang dalam pola curah hujan di dua wilayah telah berubah sepanjang waktu," lanjutnya, dikutip dari Science Daily.

Dipol ini sangat mirip dengan kondisi hari ini, di mana curah hujan sering terjadi di Indonesia, dan menyebabkan berbagai bencana. Perubahan ini telah diamati menyerupai pola pada 17.000 tahun silam yang kondisinya lebih ekstrem. Bahkan, dipol masa lalu bisa mengeringkan Danau Victoria--salah satu danau terbesar di Afrika.

Baca Juga: Mengapa 'Hujan Bulan Juni' Sapardi Djoko Damono Begitu Populer?

Baca Juga: Jatuh Bangun Kekaisaran Tiongkok, Ternyata Dipengaruhi Curah Hujan

Baca Juga: Wahai Lembaga, Tempat & Waktu Bukan Lagi Masalah Jarak Kesadaran Iklim

Baca Juga: Perubahan Iklim, Rawa Garam Akan Tenggelam ke Laut Akhir Abad Ini

“Pada dasarnya, dipol mengintensifkan kondisi kering dan basah yang dapat mengakibatkan peristiwa ekstrem seperti peristiwa kering selama bertahun-tahun atau puluhan tahun di Afrika Timur dan peristiwa banjir di Indonesia Selatan,” kata Du.

Namun, para peneliti belum bisa memprediksi masa depan dengan pola dipol dan sistem transportasi udara panas yang baru terungkap ini. Sebab, perubahan iklim telah menyebabkan lebih banyak pencairan di kutub.

"Greenland saat ini mencair begitu cepat sehingga mengeluarkan banyak air tawar ke Samudra Atlantik Utara dengan cara yang berdampak pada sirkulasi laut," kata Russell.

“Pekerjaan yang dilakukan di sini telah memberikan pemahaman baru tentang bagaimana perubahan sirkulasi Samudera Atlantik dapat berdampak pada iklim Samudera Hindia dan melalui curah hujan di Afrika dan Indonesia.”