Badai Matahari yang Aktif Mungkin Telah Memicu Kehidupan Awal di Bumi

By Wawan Setiawan, Rabu, 17 Mei 2023 | 15:00 WIB
Superflare matahari, letusan dahsyat yang menciptakan badai matahari. Kita hanya melihatnya setiap 100 tahun sekali atau lebih. (NASA)

Nationalgeographic.co.id—Blok bangunan pertama kehidupan di Bumi mungkin terbentuk berkat superflare atau badai Matahari kita, ungkap sebuah studi baru.

Serangkaian percobaan kimia menunjukkan bagaimana partikel matahari menciptakan badai matahari karena bertabrakan dengan gas di atmosfer awal Bumi. Peristiwa ini dapat membentuk asam amino dan asam karboksilat. Kedua unsur kimia ini adalah bahan penyusun dasar protein dan kehidupan organik.

Temuan studi berkait dengan badai matahari dan asal mula kehidupan di Bumi ini telah dipublikasikan di jurnal Life pada 28 April 2023 bertajuk “Formation of Amino Acids and Carboxylic Acids in Weakly Reducing Planetary Atmospheres by Solar Energetic Particles from the Young Sun.”

Untuk memahami asal usul kehidupan, banyak para ilmuwan mencoba menjelaskan bagaimana asam amino menjadi bahan mentah pembentuk protein dan semua sel kehidupan.

Proposal paling terkenal berasal dari akhir 1800-an ketika para ilmuwan berspekulasi bahwa kehidupan mungkin telah dimulai di "kolam kecil yang hangat": Sup bahan kimia, diberi energi oleh petir, panas, dan sumber energi lainnya, yang dapat bercampur menjadi satu dalam jumlah yang terkonsentrasi. Ini kemudian membentuk molekul organik.

Pada tahun 1953, Stanley Miller dari University of Chicago mencoba menciptakan kembali kondisi primordial ini di laboratorium. Miller mengisi ruang tertutup dengan metana, amonia, air, dan molekul hidrogen—gas yang dianggap umum di atmosfer awal Bumi—dan berulang kali menyalakan percikan listrik untuk mensimulasikan petir.

Ilustrasi tentang keadaan Bumi Awal. (NASA)

Seminggu kemudian, Miller dan koleganya yang bernama Harold Urey, menganalisis isi ruangan dan menemukan bahwa 20 asam amino yang berbeda telah terbentuk.

"Itu adalah temuan yang besar," kata Vladimir Airapetian, astrofisikawan bintang di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA di Greenbelt, Maryland, dan rekan penulis makalah baru. "Dari komponen dasar atmosfer Bumi purba, Anda dapat mensintesis molekul organik kompleks ini," tambahnya.

Selama 70 tahun terakhir fenomena yang dihasilkan badai matahari memiliki penafsiran yang lebih rumit. Namun, para ilmuwan sekarang percaya amonia (NH3) dan metana (CH4) jauh lebih sedikit. Sebaliknya, udara Bumi dipenuhi dengan karbon dioksida (CO2) dan molekul nitrogen (N2), yang membutuhkan lebih banyak energi untuk terurai. Gas-gas ini masih dapat menghasilkan asam amino, tetapi dalam jumlah yang sangat kecil.

Dalam pencarian sumber energi alternatif, beberapa ilmuwan menunjuk ke gelombang kejut dari meteor yang masuk. Ilmuwan lainnya mengutip radiasi ultraviolet matahari. Airapatian, menggunakan data dari misi Kepler NASA, menunjukkan ide baru: partikel energik dari Matahari kita.

Kepler mengamati bintang-bintang jauh pada tahap yang berbeda dalam siklus hidupnya, tetapi datanya memberikan petunjuk tentang masa lalu Matahari kita.

Pada tahun 2016, Airapetian menerbitkan sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa selama 100 juta tahun pertama Bumi, Matahari sekitar 30% lebih redup. Akan tetapi, badai matahari—letusan dahsyat yang hanya kita lihat setiap 100 tahun sekali atau lebih—saat ini akan meletus sekali setiap 3-10 hari.

Badai matahari ini meluncurkan partikel dengan kecepatan mendekati cahaya yang secara teratur akan bertabrakan dengan atmosfer kita, memicu reaksi kimia.

"Segera setelah saya menerbitkan makalah itu, tim dari Universitas Nasional Yokohama dari Jepang menghubungi saya," kata Airapetian.

Tampilan dekat letusan matahari, termasuk semburan matahari, lontaran massa koronal, dan peristiwa partikel energetik matahari. (NASA's Goddard Space Flight Center)

Dr. Kobayashi, seorang profesor kimia di sana, telah menghabiskan 30 tahun terakhir mempelajari kimia prebiotik. Dia mencoba memahami bagaimana sinar kosmis galaksi—partikel yang datang dari luar tata surya kita—dapat memengaruhi atmosfer awal Bumi.

“Sebagian besar penyelidik mengabaikan sinar kosmis galaksi karena memerlukan peralatan khusus, seperti akselerator partikel,” kata Kobayashi. "Saya cukup beruntung memiliki akses ke beberapa di antaranya di dekat fasilitas kami." Perubahan kecil pada pengaturan eksperimental Kobayashi dapat menguji ide-ide Airapatian.

Airapetian, Kobayashi, dan kolaboratornya menciptakan campuran gas yang cocok dengan atmosfer awal Bumi seperti yang kita pahami sekarang. Mereka menggabungkan karbon dioksida, nitrogen molekuler, air, dan metana dalam jumlah bervariasi. (Proporsi metana di atmosfer awal Bumi tidak pasti tetapi dianggap rendah.)

Mereka menembak campuran gas dengan proton (mensimulasikan partikel matahari) atau menyulutnya dengan pelepasan percikan (mensimulasikan petir), mereplikasi eksperimen Miller-Urey untuk perbandingan.

Selama proporsi metana lebih dari 0,5 persen, campuran yang ditembakkan oleh proton (partikel matahari) menghasilkan asam amino dan asam karboksilat dalam jumlah yang dapat dideteksi. Tetapi pelepasan percikan (petir) membutuhkan konsentrasi metana sekitar 15 persen sebelum asam amino terbentuk sama sekali.

"Dan bahkan pada 15% metana, tingkat produksi asam amino oleh petir adalah satu juta kali lebih sedikit dibandingkan dengan proton," tambah Airapetian.

Semuanya sama, partikel matahari tampaknya menjadi sumber energi yang lebih efisien daripada petir.

"Selama kondisi dingin Anda tidak pernah memiliki petir, dan Bumi awal berada di bawah Matahari yang cukup redup," kata Airapetian. "Itu tidak berarti bahwa itu tidak mungkin berasal dari petir, tetapi kemungkinan petir tampaknya lebih kecil sekarang, dan partikel matahari tampaknya lebih mungkin."

Demikianlah, sementara ini para ilmuwan menduga bahwa badai Matahari telah memicu kehidupan awal di Bumi.