Nationalgeographic.co.id―Telah membingungkan banyak ilmuwan di seluruh dunia, misteri fisika berusia 400 tahun akhirnya terpecahkan. Misteri tersebut dikenal dengan 'Prince Rupert's drops' atau tetesan Pangeran Rupert yang terkenal pada tahun 1660.
Misteri tersebut adalah, bagaimana permen kaca kecil berbentuk tetesan air mata dapat bertahan dari hantaman palu. Namun, tetesan kaca tersebut dapat hancur berkeping-keping dengan sedikit sentuhan pada batangnya.
Misteri tersebut sekarang akhirnya terpecahkan, setelah 400 tahun membingungkan banyak ilmuwan dan ahli fisika di dunia.
"Di satu sisi, kepala dapat menahan hantaman, dan di sisi lain, ekornya dapat dipatahkan hanya dengan sedikit tekanan jari, dan dalam beberapa mikrodetik semuanya hancur menjadi bubuk halus disertai suara letupan yang tajam," jelas rekan penulis Srinivasan Chandrasekar.
Chandrasekar adalah seorang profesor teknik industri dan direktur Pusat Pemrosesan Bahan dan Tribologi di Purdue University di Indiana, mengatakan dalam sebuah pernyataan.
Sekarang, sebuah penelitian baru mengungkapkan, bahwa kepala tetesan kaca kecil ini memiliki kekuatan yang tak tergoyahkan karena gaya tekan yang bekerja di bagian luar tetesan. Gaya-gaya ini menyaingi gaya tekan dalam beberapa bentuk seperti baja, menurut hasil penelitian tersebut.
Misteri kacaTetesan Pangeran Rupert pertama kali mendapat ketenaran luas pada tahun 1660, ketika Pangeran Rupert dari Rhine (Jerman) membawa beberapa keingintahuan kepada Raja Charles II dari Inggris.
Tetesan air mata, yang dibuat dengan menuangkan cairan kaca ke dalam air dingin, kemungkinan besar telah diketahui oleh para peniup kaca berabad-abad sebelumnya.
Charles kemudian menyerahkannya kepada Royal Society, yang menerbitkan penyelidikan ilmiah pertamanya tentang sifat-sifatnya pada tahun 1661.Selama berabad-abad, para ilmuwan bingung dengan teka-teki tetesan Pangeran Rupert.
Pada tahun 1994, Chandrasekar dan rekannya menggunakan kamera berkecepatan tinggi untuk menangkap 1 juta frame per detik dari tetesan air saat pecah. Rekaman itu mengungkapkan bahwa retakan kecil yang terbentuk di ekor dengan cepat menyebar ke kepala.
Begitu retakan itu mencapai kecepatan yang cukup tinggi (sekitar 1,5 kilometer per detik), retakan itu terbelah menjadi dua, kata Chandrasekhar.