"Cara termudah untuk memikirkan mengapa keadaan kita lebih baik tanpa monarki adalah dengan mengajukan pertanyaan sederhana: apa yang telah dilakukan monarki untuk kita?" lanjutnya.
Dia mengkritik dengan keras sistem monarki di Inggris yang cenderung penuh dengan glamor dan kemegahan. Di satu sisi, dalam politik luar negeri, Inggris juga kerap membantu operasi penegakan demokrasi di negara-negara lain, termasuk dalam Arab Springs. Akan tetapi, Inggris sendiri tidak menciptakan demokrasi semestinya.
Gerakan anti-monarki ini terus bertumbuh, terutama sejak meninggalnya Ratu Elizabeth II pada September 2022.
Jajak pendapat yang dilakukan Ipsos tahun 2021, menemukan bahwa pendukung monarki sebelumnya mencapai 76 persen suara, kemudian turun menjadi 60 persen dalam lima tahun. Survei YouGov juga menunjukkan bahwa pendukung monarki kebanyakan adalah kalangan tua. Kebanyakan dari penolaknya adalah kalangan muda terus bertumbuh.
Baca Juga: Analisis Batu Takdir yang Digunakan dalam Penobatan Charles III
Baca Juga: Benarkah Teh Jadi Penyebab Perang Candu antara Tiongkok dan Inggris?
Baca Juga: Merasa Terhina, The Beatles Menolak Penghargaan dari Ratu Elizabeth II
Baca Juga: Ketika Kultur dan Musik Punk Membuat Monarki Inggris Jadi Gerah
Pewarta Fast Company Connie Lin menambahkan, intrik keluarga kerajaan juga punya masalah yang membuat monarki Inggris terganggu. Salah satunya adalah Raja Charles III yang sebelumnya punya masalah dalam pernikahannya dengan Putri Diana dari Wales di abad sebelumnya. Banyak kritikus dan pihak yang mencemoohnya sebagai pembawa kekacauan politik.
Gerakan kritik sistem monarki tidak hanya bergaung di dalam Inggris saja. Beberapa negara lainnya, terutama yang pernah mengalami penjajahan di bawah Inggris memiliki kritik yang sama dan bergaung di media sosial.
Seperti yang kita tahu bahwa ada banyak penjarahan besar-besaran yang pernah dilakukan Inggris. Perampasan wilayah, kedauluatan, dan harta terjadi di berbagai negeri di hampir seluruh duna di bawah kolonialismenya.
Salah satu kritik pada monarki dilakukan oleh senator kalangan pribumi Australia Lidia Thorpe. Pada Agustus 2022, dia menyindir Ratu Elizabeth II dalam sumpah jabatannya: "Saya yang berdaulat, Lidia Thorpe, dengan sungguh-sungguh dan tulus bersumpah bahwa saya akan setia dan saya memberikan kesetiaan sejati kepada penjajahan Yang Mulia Ratu Elizabeth II."
Andaikan Inggris Raya benar-benar berganti sistem politik dari monarki ke republik atau yang lebih demokratis, mungkin bisa menyebabkan perubahan besar-besaran di dunia menurut banyak pengamat. Misalnya seperti bubarnya negara-negara Persemakmuran Inggris, atau gerakan separatis di tubuh Inggris raya sendiri.