Kesamaan paham antara Jepang dan Jerman muncul pada 1933. Saat itu, Jerman berhasil memusnahkan sisa-sisa terakhir Republik Weimar, dan Jepang bercokol penuh di Manchuria, Tiongkok. Jepang kemudian menarik diri dari Liga Bangsa-Bangsa.
"Bisa dibilang, pada tahun 1933, Jepang telah menyatakan dirinya sebagai kehadiran yang paling agresif dan mengganggu dalam tatanan internasional kontemporer. Sejak saat itu, militernya semakin memberikan pengaruh yang sangat besar pada urusan politik dan ekonomi," lanjut Dawsey.
Hitler pun mengikuti Jepang dengan menarik Jerman dari Liga Bangsa-Bangsa pada Oktober 1933. Hitler menilai, Jepang telah memberi contoh bahwa organisasi internasional yang penuh dengan 'kepentingan Inggris dan Prancis' itu bisa diancam. Inilah yang membakar gelora fasisme pada awal sejarah Perang Dunia II.
Hubungan Jerman dan Jepang mulai terjalin dalam babak awal sejarah Perang Dunia II. Pada 1939, menteri luar negeri Jerman Joachim von Ribbentrop menghubungi pengusaha dan diplomat Jerman di Jepang. Ia bertujuan menggenjot industri dan militer Jepang.
Jepang melihat itikad baik Jerman. Jerman memilih mundur dari segala hal yang berhubungan dengan Tiongkok di bawah Chiang Kai Shek yang berasal dari Partai Nasionalis Tiongkok (Kuomintang). Tokyo melihat perilaku ini menunjukkan bahwa Tiongkok adalah kepentingannya.
Hal ini dilandasi oleh persetujuan hubungan Jepang-Jerman dalam sebuah proposal yang diberikan kepada Ribbentrop. Proposal itu disampaikan oleh Atase Militer Jepang di Berlin, Hiroshi Oshima.
Oshima bahwa Jepang menentang komunisme tanpa secara eksplisit menyebut Uni Soviet. Selama ini pergerakan Jepang membuat khawatir Moskow.
Baca Juga: Balada Peninggalan Perang Dunia II di Tambrauw yang Terbengkalai
Baca Juga: Hirohito, Takhta Kaisar Jepang Terlama Melewati Masa Perang dan Damai
Baca Juga: Kehidupan Tragis Puyi, Kaisar Tiongkok Terakhir Sebagai Tawanan Soviet
Proposal ini kemudian berkembang menjadi Pakta Anti-Komintern, yang mendapat dukungan antusias dari Hitler. "Percakapan antara pemerintah Jepang dan Jerman menghasilkan kepercayaan," terang Dawsey. Hitler telah sejak lama berharap pada Jepang untuk mengguncangkan Uni Soviet dan bisa bersekutu dengan Tokyo.
Pakta ini kemudian mematangkan ikatan Jerman dan Jepang dalam sejarah Perang Dunia II. Mereka sepakat untuk satu sama lain tidak memberikan bantuan kepada Uni Soviet, jika Stalin menyerang negara lain.
"Ini adalah salah satu konjungtur yang sangat penting di abad ke-20. Keterbukaan Hitler untuk bekerja dengan Jepang dan tampak pragmatisme tentang rasisme fanatiknya, dikombinasikan dengan kerja keras Ribbentrop dalam merasakan kepentingan Jepang, dan ketakutan Kekaisaran Jepang sendiri terhadap gerakan Soviet menyatu dalam Poros Berlin-Tokyo yang baru," kesan Dawsey.