Batuan Kaya Besi Ini Membuka Wawasan Baru tentang Sejarah Planet Bumi

By Wawan Setiawan, Sabtu, 27 Mei 2023 | 09:00 WIB
Formasi besi pita bermetamorfosis dari Wyoming selatan menunjukkan deformasi dan lipatan. Batu itu berusia sekitar 2,7 miliar tahun. Pita gelap adalah oksida besi (magnetit, hematit) dan pita kuning-oranye adalah rijang dengan inklusi oksida besi (jasper). Batuan ini berperan dalam sejarah planet Bumi. (Linda Welzenbach-Fries/Rice University)

Nationalgeographic.co.id—Lapisan warna oranye, kuning, perak, coklat, dan hitam kebiruan yang mencolok secara visual adalah karakteristik dari formasi besi berpita. Ini adalah batuan sedimen yang mungkin telah mendorong beberapa letusan gunung berapi terbesar dalam sejarah planet Bumi, menurut penelitian baru dari Rice University.

Batuan tersebut mengandung besi oksida yang tenggelam ke dasar lautan sejak lama, membentuk lapisan padat yang akhirnya berubah menjadi batu.

Hasil studi ini telah diterbitkan 25 Mei 2023 di jurnal Nature Geoscience dengan tajuk “Links between large igneous province volcanism and subducted iron formations.”

Studi ini menunjukkan bahwa lapisan kaya besi itu dapat menghubungkan perubahan kuno di permukaan bumi, seperti munculnya kehidupan fotosintesis. Perubahan itu melalui proses planet seperti vulkanisme dan lempeng tektonik.

Selain menghubungkan proses planet yang umumnya dianggap tidak berhubungan, penelitian ini dapat membingkai ulang pemahaman para ilmuwan tentang sejarah awal Bumi dan memberikan wawasan tentang proses yang dapat menghasilkan planet ekstrasurya yang dapat dihuni jauh dari tata surya kita.

“Secara harfiah, batu-batu ini menceritakan kisah tentang lingkungan planet yang berubah,” kata Duncan Keller, penulis utama studi dan peneliti pascadoktoral di Departemen Ilmu Bumi, Lingkungan, dan Planetary di Rice. "Mereka mewujudkan perubahan kimia atmosfer dan lautan."

Duncan Keller adalah peneliti postdoctoral di Departemen Ilmu Bumi, Lingkungan dan Planetary Rice dan penulis utama studi yang diterbitkan di Nature Geoscience. (Jeff Fitlow/Rice University)

Formasi besi berpita adalah sedimen kimiawi yang diendapkan langsung dari air laut purba yang kaya akan zat besi terlarut. Aktivitas metabolisme mikroorganisme, termasuk fotosintesis, diperkirakan telah memfasilitasi pengendapan mineral. Sehingga terbentuk lapis demi lapis dari waktu ke waktu bersama dengan rijang (mikrokristalin silikon dioksida).

Endapan terbesar terbentuk saat oksigen terakumulasi di atmosfer bumi sekitar 2,5 miliar tahun lalu.

"Batuan ini terbentuk di lautan purba, dan kita tahu bahwa lautan itu kemudian ditutup secara lateral oleh proses tektonik lempeng," jelas Keller.

Mantel, meskipun padat, mengalir seperti cairan dengan kecepatan pertumbuhan kuku. Lempeng tektonik --bagian kerak dan mantel paling atas seukuran benua-- terus bergerak, sebagian besar sebagai akibat dari arus konveksi termal di mantel. Proses tektonik bumi mengontrol siklus hidup lautan.

Karena kandungan besinya yang tinggi, formasi besi berpita lebih padat daripada mantel, yang membuat Keller bertanya-tanya apakah bongkahan formasi yang tersubduksi itu sepenuhnya dan menetap di wilayah terendah mantel di dekat bagian atas inti bumi.

Di sana, di bawah suhu dan tekanan yang sangat besar, mereka akan mengalami perubahan besar karena mineral mereka memiliki struktur yang berbeda.

Formasi besi pita bermetamorfosis dari Grup Hamersley di Australia Barat. Batu itu berusia sekitar 2,5 miliar tahun. Pita gelap adalah oksida besi (hematit, magnetit), pita kemerahan adalah rijang dengan inklusi oksida besi (jasper), dan pita emas adalah amphibole dan kuarsa. Spesimen dikumpulkan ol (Linda Welzenbach-Fries/Rice University)

“Ada beberapa penelitian yang sangat menarik tentang sifat besi oksida pada kondisi tersebut,” kata Keller. “Mereka bisa menjadi sangat konduktif secara termal dan elektrik. Beberapa dari mereka mentransfer panas semudah logam. Jadi, begitu berada di mantel bawah, batuan ini akan berubah menjadi gumpalan yang sangat konduktif seperti pelat panas.”

Keller dan rekan-rekan penelitiannya berpendapat bahwa daerah yang diperkaya dengan formasi besi subduksi mungkin membantu pembentukan mantle plume. Ini adalah saluran batu panas yang naik di atas anomali termal di mantel bawah yang dapat menghasilkan gunung berapi yang sangat besar seperti yang membentuk Kepulauan Hawaii.

"Di bawah Hawaii, data seismologis menunjukkan saluran panas dari mantel yang naik," kata Keller. "Bayangkan titik panas di kompor Anda. Saat air di panci Anda mendidih, Anda akan melihat lebih banyak gelembung di atas kolom air yang naik di area itu. Mantle plume adalah versi raksasa dari itu."

“Kami melihat usia pengendapan formasi besi berpita dan usia peristiwa letusan basaltik besar yang disebut daerah beku besar, dan kami menemukan bahwa ada korelasinya,” kata Keller.

"Banyak dari peristiwa beku - yang sangat masif sehingga 10 atau 15 yang terbesar mungkin cukup untuk memunculkan kembali seluruh planet --didahului oleh pengendapan formasi besi berpita pada interval kira-kira 241 juta tahun, kurang lebih 15 juta. Ini korelasi yang kuat dengan mekanisme yang masuk akal."

Studi tersebut menunjukkan bahwa ada jangka waktu yang masuk akal bagi formasi besi berpita untuk pertama kali ditarik jauh ke dalam mantel bawah dan kemudian memengaruhi aliran panas untuk mendorong semburan menuju permukaan bumi ribuan kilometer di atas.

Dalam upayanya untuk melacak perjalanan formasi besi berpita, Keller melewati batas disiplin ilmu dan menemukan wawasan yang tak terduga.

"Jika apa yang terjadi di lautan awal, setelah mikroorganisme mengubah lingkungan permukaan secara kimiawi, akhirnya menciptakan curahan lava yang sangat besar di tempat lain di Bumi 250 juta tahun kemudian, itu berarti proses ini terkait dan 'berbicara' satu sama lain," kata Keller.

"Ini juga berarti proses terkait mungkin memiliki skala panjang yang jauh lebih besar dari yang diharapkan orang. Untuk dapat menyimpulkan ini, kami harus mengambil data dari berbagai bidang di seluruh mineralogi, geokimia, geofisika, dan sedimentologi," tambahnya.

"Kami menggunakan Bumi sebagai contoh terbaik yang kami miliki, tetapi kami mencoba mencari tahu apa arti kehadiran atau ketiadaan satu atau beberapa elemen ini bagi planet secara lebih umum," pungkasnya.