Nationalgeographic.co.id—Pemerintah Indonesia kembali membuka keran ekspor pasir laut setalah 20 tahun menyetopnya. Kebijakan baru ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang terbit pada Senin, 29 Mei 2023.
Peraturan baru ini jelas menuai kritik. Sebab, aturan ini memberikan izin kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut. Peraturan baru ini juga dinilai "membuka ruang" bagi perusahaan untuk mengekspor pasir laut ke luar negeri jika kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
Padahal, sebelumnya pemerintah telah menghentikan ekspor pasir laut lewat Surat Keputusan (SK) Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Alasan pelarangan ekspor itu untuk mencegah kerusakan lingkungan berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil di Tanah Air.
Antara tahun 1997-2002, Indonesia rata-rata mengirimkan lebih dari 53 juta ton pasir laut per tahun ke Singapura. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2019, Singapura adalah importir pasir laut terbesar di dunia dan telah mengimpor sekitar 517 juta ton pasir dari negara-negara tetangganya selama dua dekade sebelumnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menjelaskan ekspor pasir laut yang diizinkan adalah hasil sedimen atau pengendapan. Sedimen itu menyebabkan pendangkalan sehingga membahayakan alur pelayaran.
Arifin menyebut di saluran-saluran tambang banyak terjadi pendangkalan sehingga mengganggu alur pelayaran. Jadi, ia tak melihat ada masalah dengan dibukanya kembali ekspor pasir laut.
"Nah itu supaya bisa menjaga alur pelayaran maka didalami lagi (salurannya). Sedimen itu yang lebih bagus dilempar keluar daripada ditaruh tempat kita juga," katan Arifin di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (31/5).
Meski yang boleh diekspor adalah pasir laut hasil sedimentasi, hal itu sebenarnya adalah tanda betapa rentannya kondisi lingkungan di Indonesia. Rony Megawanto, Direktur Program Yayasan KEHATI--organisasi nirlaba yang bergerak di bidang lingkungan, mengatakan bahwa kita perlu melihat dasar atau sumber dari masalah ekspor pasir sedimentasi di laut ini.
"Sedimentasi itu sebenarnya adalah dampak. Ada sumbernya. Sumber sedimentasinya dari mana?" tanya Rony retoris dalam acara di Rumah KEHATI.
"Ketika hutan itu ditebang, terjadi deforestasi. Itu berarti kemampuan tanah menyerap air hujan menjadi berkurang, sehingga terjadilah runoff atau aliran permukaan," tutur Rony. "Kalau hutannya sudah semakin habis, maka semakin besarlah runoff atau aliran permukaan."
Aliran permukaan dari air hujan ini kemudian masuk ke sungai dan mengikis pasir di sungai dan membawanya hingga ke muara. Pasir yang terbawa ini kemudian mengendap atau menjadi sedimen di laut.
"Kalau sedimentasi di muara sungai itu sebagai sebuah masalah, maka yang harus di-address adalah sumbernya," tegas Ronny.
Salah satu solusi untuk mengurangsi summber masalah ini, menurut Rony, adalah penanaman bambu ataupun pohon lainnya di lahan kritis atau lahan kering. Pohon bambu secara khusus bisa menyerap air hujan sampai 90% maka.
Jadi bambu "akan berkontribusi terhadap pengurangan aliran permukaan dan sedimentasi," tekan Ronny. "Jadi sumbernya yang harus di-address."