Nationalgeographic.co.id—Pada tahun 1517, sekumpulan orang asing muncul di dekat surga perdagangan Guangzhou yang terkenal. Bagi orang-orang Tiongkok, mereka tampak seperti orang barbar yang aneh dan sulit diatur.
Bahasa yang mereka gunakan adalah misteri yang tidak dapat dipahami, delapan kapal mereka lemah menurut standar jung harta karun Zheng He, dan asal usul mereka agak kabur.
Sejarah Tiongkok mencatat, seperti semua pedagang lintas laut lainnya, mereka ingin berdagang sutra yang kaya serta memperdagangkan komoditas Cina lainnya.
Lantas, orang Cina memanggil mereka folangji, istilah umum yang digunakan pada saat itu untuk menyebut orang Eropa.
Lebih khusus lagi, "folangji adalah istilah yang digunakan orang-orang Cina untuk menyebut orang Portugis, dan mereka adalah orang Eropa pertama yang berlayar sampai ke Cina," tulis Michael Schuman.
Ia menulisnya kepada The Atlantic dalam artikelnya berjudul China Has Dominated the West Before yang diterbitkan pada 6 Juni 2020. Cina menyebut mereka sebagai bajak laut berkulit putih.
Folangji dan Konfliknya dengan Tiongkok
Sebenarnya, penyebutan untuk para penjelajah samudera dari kalangan Eropa sudah ada sebelum Cina memperkenalkan istilah folangji. Bangsa Persia diperkirakan pertama kali menyebut Eropa dengan istilah farang.
Farang berasal dari kata Franki atau bangsa Frank, Jermanik kulit putih. Dalam sebuah buku geografi Persia akhir abad ke-10, menunjukkan bahwa 'Farang' Persia adalah pinjaman dari bahasa Arab.
Hal itu dibuktikan saat menjelang abad ke-11, teks-teks Arab semakin banyak menggunakan istilah 'Faransa' atau 'al-Faransiyah', yang dibuktikan dalam karya Said al-Andalusi pada pertengahan abad ke-11 untuk menyebut orang Eropa kulit putih.
Dalam bahasa Ethiopia dan Eritrea, menyebutnya dengan faranj atau ferenj. Istilah ini masih berada dalam konteks penyebutan untuk orang asing yang jauh. Istilah ini umumnya digunakan untuk menggambarkan orang Eropa atau keturunan Eropa berkulit putih.
Lebih-lebih, bangsa Dravida menjuluki orang Eropa dengan bahasa Malayalam menggunakan istilah parangki. Kemudian dalam bahasa Tamil menyebut orang Eropa dengan istilah parangiar, hingga bangsa Cina menyebutnya folangji.
Dalam upaya pertama bangsa Eropa untuk mendapatkan pos perdagangan di Cina dengan paksa, orang-orang Portugis malah dikalahkan oleh Cina Ming pada Pertempuran Tunmen di Tamão atau Tuen Mun pada tahun 1521.
Pada pertempuran itu, diperkirakan bahwa bangsa Portugis kehilangan 2 kapal. Selanjutnya, berlanjut pada Pertempuran Sincouwaan di Pulau Lantau, mereka kembali kehilangan 2 kapalnya.
Dalam sejarah Tiongkok, folangji tak kenal menyerah demi mendapatkan pos dagang secara paksa di Cina. Mereka rela melalui perang demi perang dengan Dinasti Ming yang tengah berkuasa di Tiongkok.
Shuangyu yang jadi pelabuhan primadona dan diincar folangji, tetap tak dapat direbut. Ming terlalu kuat untuk ditaklukan Portugis. Alih-alih berjaya, pada tahun 1548 beberapa orang Portugis ditangkap.
Pengejaran folangji berlanjut hingga mereka tertangkap di dekat Semenanjung Dongshan pada tahun 1549, di mana dua kapal jung Portugis dan Galeote Pereira berhasil dikuasai Ming. Ming tampil sebagai pemenang dalam catatan sejarah Tiongkok.
Selama pertempuran ini, orang Ming merebut senjata dari Portugis yang kalah yang kemudian mereka rekayasa ulang dan diproduksi secara massal di Tiongkok seperti senapan korek api, serta senapan arquebus.
Selain arquebus sebagai senapan burung, istilah folangji dalam konteks ini juga mengacu pada senjata Portugis berupa meriam.
Kuasa Portugis atas Makau dalam Catatan Sejarah Tiongkok
Pada tahun 1554, upaya diplomatis folangji dengan Cina terus berlanjut. Portugis berupaya keras menggurat lembar baru dalam sejarah Tiongkok.
Leonel de Sousa membuat perjanjian dengan pejabat Guangzhou untuk melegalkan perdagangan Portugis, dengan syarat membayar bea cukai tertentu. Perjanjian ini berbuntut pada pengakuan Makau sebagai gudang resmi Portugis pada tahun 1557.
Leonel de Sousa menjadi Kapten-Mayor kedua Makau pada tahun 1558 (setara dengan Gubernur Makau yang kemudian). Makau adalah salah satu dari 4 wilayah administrasi Tiongkok.
Portugis membayar sewa tahunan untuk mengelola wilayah Makau yang saat itu berada di bawah kedaulatan Tiongkok. Namun, pada 1887, Portugal memperoleh hak koloni secara permanen atas Makau yang tertuang dalam Traktat Tiongkok-Portugal di Peking.
Makau tetap berada di bawah kekuasaan Portugis hingga tahun 1999, ketika kedaulatan Makau diserahkan oleh Portugis kepada Tiongkok.
Dokumen sejarah Tiongkok mengklaim bahwa Portugis melakukan suap untuk membuat pejabat lokal yang korup di Guangzhou menandatangani perjanjian itu secara pribadi. Legitimasi klaim tersebut telah diperdebatkan dalam studi akademik hari ini.
Selanjutnya, Makau menjadi daerah administratif khusus yang mempertahankan sistem pemerintahan dan ekonomi yang terpisah dari Tiongkok. Makau bertahan di bawah prinsip "satu negara, dua sistem" hingga 50 tahun ke depan.
Dalam catatan sejarah Tiongkok, Makau akan terikat dengan prinsip itu terhitung dari tahun 1999 hingga 50 tahun ke depan, berdasarkan perjanjian "Join declaration of Macau" hingga tahun 2049.
Berkat kuasa Portugis atas Makau selama hampir lebih 400 tahun lamanya, banyak percampuran budaya Portugis-Tiongkok. Arsitektur Portugis dan Kanton dimasukkan ke dalam Daftar Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 2005.