Marten Douwes Teenstra: Sastrawan Pengecam Sejarah Perbudakan

By Galih Pranata, Jumat, 9 Juni 2023 | 11:19 WIB
Potret Marten Douwes Teenstra, Mutatuli dari Groningen, yang menjadi sastrawan penentang sejarah perbudakan. (Wikimedia Commons)

Setelah mengembangkan pertaniannya di Suriname, Teenstra bahkan memulai keluarga kedua di sana dan memiliki dua anak. Istri dan lima anaknya di Groningen tidak tahu apa-apa tentang istri keduanya. Teenstra memutuskan kembali ke Groningen pada tahun 1834.

Pada tahun itu, kekacauan pecah di Ulrum, Groningen, Belanda. Dikisahkan bahwa pendeta Hendrik de Cock memutuskan hubungan dengan Gereja Reformasi dan mendirikan gerejanya sendiri.

Pemerintah menanggapinya dengan serius dan menempatkan tentara bersama para separatis. Dari sana, ia memulai untuk berusaha bersuara lebih keras melalui penanya yang tajam.

Perbudakan di Amerika Serikat mendorong tersebarnya agama Islam, hingga Ramadan dipercaya diperkenalkan oleh budak Muslim dari Afrika. (Slavery and Remembrance)

"Antara tahun 1833 dan 1864, penulis ini berkembang menjadi seorang abolisionis terkemuka penentang sejarah perbudakan," tulis Joost Eskes kepada Historiek dalam artikel berjudul Marten Douwes Teenstra, een Groningse Multatuli terbitan 8 Mei 2023.

Setelah tahun 1834 Marten Douwes menjadi penulis dan sastrawan. Dalam tidak kurang dari empat buku dia mencela takhayul, ramalan dan ilmu sihir. Tapi, tema utamanya adalah perang melawan perbudakan, membuat namanya melambung dalam sejarah perbudakan.

Budak dijual dan anggota keluarga dipisahkan secara kejam. Teenstra menyebut orang Kristen yang melakukan praktik perbudakan ini seperti "Monster: kurang dari anjing, lebih kejam dari harimau."

Sejatinya, sejarah perbudakan di Jawa, telah membukakan mata dan hati Teenstra. "Ia juga banyak mengalami di Jawa, seperti pembangunan Jalan Pos yang panjang dan penumpasan pemberontakan berdarah," imbuh Joost.

Lebih-lebih, enam tahun di Suriname adalah momen yang telah membentuk dirinya. Teenstra melakukan perjalanan ke seluruh negeri dan menjelaskan perkebunan secara detail dalam tulisannya.

Ketika ia mengunjungi Antilles pada tahun 1833, Teenstra menyaksikan eksekusi yang mengejutkan dari tiga budak yang melarikan diri: Cojo, Mentor dan Present, yang membakar Paramaribo.

Dalam pandangan kritisnya tentang sejarah perbudakan, Teenstra menulis: "Jangan katakan apa yang bisa saya bantu: suara saya hanyalah setetes air di lautan, bagus, tetapi banyak tetes dapat menyuburkan tanah dan menghasilkan buah yang baik."

Beginilah Teenstra berkembang menjadi Multatuli-nya Groningen. Dia meminta pemerintah untuk memberikan kompensasi yang wajar kepada budak dan mengatur pengawasan negara dengan baik.

Theodorus Waaldijk dari Suriname menunjukkan dalam disertasinya pada tahun 1959 bahwa Teenstra memperkuat tuduhannya terhadap perbudakan dengan mengumpulkan fakta secara cermat.

Dari tulisan-tulisannya, pemerintah Belanda telah meluncurkan permintaan maaf kepada budak-budak di tanah koloninya. Ia telah mengubah arus sejarah perbudakan dengan menolong lewat penanya yang tajam dan pemikirannya yang kritis.