Periode Heian Menjadi Abad Keemasan Istana Kekaisaran Jepang

By Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya, Selasa, 13 Juni 2023 | 08:00 WIB
Aula utama Daigokuden Istana Heian Kekaisaran Jepang yang direkonstruksi ulang akibat kebakaran ()

Kuil Agung Ise tetap menjadi tempat ziarah yang penting. Semua kepercayaan ini dipraktikan berdampingan, seringkali oleh individu yang sama, dari kaisar hingga petani yang sederhana.

Pertama kali berkembang selama periode Heian, gaya lukis yamato-e membedakan dengan gaya lukis Tiongkok. ()

Hubungan dengan Tiongkok

Perdagangan dan pertukaran budaya dengan Tiongkok masih berjalan seperti sebelumnya. Barang-barang yang diimpor dari Tiongkok antara lain obat-obatan, kain sutra, keramik, senjata, baju zirah dan alat musik. Sementara itu Jepang mengirim mutiara, debu emas, sutra mentah dan barang-barang bersepuh emas.

Biksu, cendekiawan, musisi dan seniman dikirim untuk melihat apa yang bisa mereka pelajari dari budaya yang lebih maju di Tiongkok dan membawa  ide-ide baru dalam segala hal dari lukisan hingga obat-obatan.

Para pelajar menghabiskan waktu bertahun-tahun memperlajari praktik administrasi Tiongkok dan membawa pulang pengetahuan mereka ke istana.

Terlepas adanya pertukaran ini, kekaisaran Jepang cukup mengisolasi diri. Kedutaan besar di istana Tang berakhir dan tidak lagi melanjutkan hubungan diplomatik formal dengan Tiongkok.

 Dengan berkurangnya misi reguler antara dua negara ini maka pengaruh budaya Tiongkok dalam Periode Heian berkurang. Budaya Jepang semakin menemukan jati dirinya untuk berkembang.

Kebudayaan Heian

Periode Heian dicatat dalam sejarah pencapaian budayanya, setidaknya di istana kekaisaran Jepang. Tulisan Jepang (kana) diciptakan.

Tercipta novel pertama di dunia, Hikayat Genji oleh Murasaki Shikibu. Kisah Genji dianggap populer karena membahas kehidupan istana Heian.

Karya terkenal lain dari periode ini adalah Buku Harian Izumi Shikibu, Kagero Nikki karya Fujiwara Michitsuna dan Kisah Keberuntungan Mekar oleh Akazome Emon. Beberapa buku harian (nikki) terkenal ditulis oleh wanita-wanita istana.

Para pria tidak tertarik dengan buku harian yang remeh dan komentar-komentar tentang kehidupan dalam istana, mengakibatkan terbukanya ruang bagi para penulis wanita.

Secara kolektif hal ini menciptakan genre sastra baru yang mengamati sifat fana kehidupan dirangkum dalam frase mono no aware (kesedihan atau penderitaan berbagai hal).

Para pria yang menulis sejarah melakukannya secara anonim atau bahkan berpura-pura sebagai wanita seperti Ki no Tsurayuki dalam memoar perjalanannya Tosa Nikki.

Seni visual diwakili oleh lukisan pada sekat ruangan, gulungan lukisan dan tulisan yang rumit dan kaligrafi. Reputasi seorang aristokrat dibangun tidak hanya dari posisinya di istana atau dalam administrasi tapi juga dari apresiasinya terhadap hal-hal semacam ini dan kemampuannya untuk menggubah puisi, memainkan musik, menari, dan kemahiran memanah. 

Selain sastra, periode ini juga menghasilkan produksi pakaian istana kekaisaran Jepang yang sangat indah. Potret tokoh-tokoh istana yang bagaikan aslinya dibuat oleh Fujiwara Takanobu.

Ilustrasi lukisan terinspirasi oleh kesusastraan dan sejarah Jepang sehingga membuka jalan untuk karya-karya yang lebih besar.