Sebelum Wanita, Pria Sudah Lebih Dulu Jadi Geisha di Kekaisaran Jepang

By Sysilia Tanhati, Rabu, 14 Juni 2023 | 10:00 WIB
Sebelum wanita, pria sudah lebih dulu menjadi geisha di Kekaisaran Jepang. Apa yang mereka lakukan? (Yoshiiku)

Nationalgeographic.co.id—Ketika geisha wanita pertama kali muncul di distrik lampu merah Yoshiwara pada pertengahan abad ke-18, masyarakat harus menekankan kata perempuan. Pasalnya, sebelum itu, hanya pria saja yang menjadi geisha.

Geisha secara harfiah berarti orang-orang seni. Para geisha pria menghadiri pesta di Edo.

“Tujuannya adalah membuat para tamu terhibur dengan menyanyi, menari, dan membuat lelucon,” tulis Cezary Jan Strusiewicz di laman Tokyo Weekender.

Namun, dalam beberapa dekade, profesi mereka diambil alih oleh wanita. Kelak, para penghibur wanita mulai dikenal sebagai geisha. Sementara geisha pria harus mulai menggunakan istilah otoko geisha.

Apa itu geisha?

Harus diakui, geisha adalah salah satu profesi di Jepang yang paling terkenal dan mistis. Banyak kesalahpahaman seputar profesi geisha.

Dari sudut pandang orang luar, geisha dipandang sebagai penjamu tamu atau penghibur. Namun mereka selalu dikaitkan dengan aktivitas seksual.

Dalam budaya tradisional dan kontemporer, geisha dipekerjakan untuk menjadi seperti nyonya rumah. Mereka ahli dalam kesenian dan hiburan klasik Jepang.

Percakapan berbobot, tarian, upacara, dan kebersamaan adalah alasan utama geisha dipekerjakan oleh orang kaya.

Dalam hampir setiap kasus, tidak ada hubungan fisik antara geisha dan kliennya.

Berawal dari biksu yang menari di Kekaisaran Jepang

Pada pertengahan abad ke-13, Biksu Ippen mendirikan aliran Ji dari Buddhisme Tanah Suci dan mulai berkeliling Jepang.

Ia menyebarkan ajaran nenbutsu odori (mengucapkan nama Buddha saat melakukan tarian ritual) di Kekaisaran Jepang.

Biksu Ippen segera mendapatkan banyak pengikut. Melalui perjalanan, praktik, dan interaksi dengan masyarakat, selera dalam hal seni dan hiburan pun kian terasah.

Konon semua keterampilan yang baru diperoleh itu membantu pengikut Ippen menjadi pelayan tuan feodal. “Mereka dikenal sebagai doboshu, yang secara luas dianggap sebagai geisha awal,” ujar Strusiewicz.

Doboshu sangat aktif selama Periode Muromachi (1336–1573). Di masa itu, perang saudara terus berkecamuk di Kekaisaran Jepang.

Pada saat itu, panglima perang membutuhkan seseorang untuk mengumpulkan dan menganalisis intelijen serta memberi nasihat tentang strategi. Di saat yang sama, panglima juga membutuhkan orang yang dapat mengalihkan pikiran mereka dari darah dan perang.

Jenis hiburan yang dibutuhkan oleh para prajurit adalah upacara minum teh, lukisan tinta, puisi, dan merangkai bunga.

Doboshu bisa memenuhi semua kebutuhan panglima perang, mulai dari mengalisis intelijen sampai merangkai bunga.

Tentu saja, biaya yang dikeluarkan menjadi jauh lebih murah jika panglima bisa memanfaatkan satu orang yang serba bisa.  

Doboshu juga berguna karena mereka bisa menyampaikan kabar buruk kepada pelanggan mereka dengan cara yang lucu. Inilah yang membuka jalan bagi babak kedua dalam sejarah geisha pria.

Perubahan peran doboshu

Menjelang akhir abad ke-16, ketika Kekaisaran Jepang perlahan-lahan menuju penyatuan, doboshu menikmati hak istimewa. Mereka boleh melucu sekaligus mengejek.

Hal ini bertentangan dengan aturan hierarkis yang kaku dari masyarakat Jepang. Di masa itu, doboshu mirip dengan pelawak abad pertengahan di Eropa.

Saat profesi mereka berubah, begitu pula namanya. Doboshu segera dikenal sebagai hanashishu (pendongeng), hokan (pelawak), atau taikomochi (pembawa genderang).

Taikomochi konon berasal dari Shinzaemon Sorori, doboshu yang melayani Toyotomi Hideyoshi, salah satu pemersatu Kekaisaran Jepang.

Setiap kali Hideyoshi sedang dalam suasana hati yang buruk, Shinzaemon akan menghiburnya dengan tarian dan pantomin. Tindakannya itu membuatnya mendapatkan julukan taikomochi.

Takaimochi berarti “dia yang mengangkat taiko”. Saat itu Hideyoshi adalah wali penguasa yang sudah pensiun (taiko).

Taiko juga berarti drum. Instrumen ini sering digunakan oleh geisha pelawak selama penampilan mereka.

Ketika geisha pria mulai menghilang di Kekaisaran Jepang

Seiring waktu, taikomochi pindah dari kediaman pribadi tuan feodal dan berkembang menjadi penghibur profesional untuk disewa dan tampil. Mereka dengan cepat menjadi andalan di perjamuan kota besar. Di perjamuan, geisha pria menggunakan keterampilannya untuk membuat pesta berlangsung selama mungkin.

Namun, zaman keemasan ini tidak berlangsung lama di Kekaisaran Jepang. Mungkin karena mereka berbisnis dengan klien berstatus tinggi, orang-orang mulai memandang rendah geisha pria sejak awal Zaman Edo (1603–1868).

Harus diakui, geisha adalah salah satu profesi di Jepang yang paling terkenal dan mistis. Banyak kesalahpahaman seputar profesi geisha. (Public Domain)

Pada abad ke-18, geisha pria bekerja secara eksklusif di distrik lampu merah. Geisha pria ini terutama dikenal karena menceritakan lelucon porno dan menyanyikan lagu-lagu cabul.

Pemerintah Edo memandang rendah profesi tersebut. Bahkan, pemerintah tidak mau mengakui adanya geisha di kota itu.

Alih-alih sebagai geisha, pemerintah mendaftarkan pria itu sebagai tukang keramas, pembasmi serangga, atau pembersih jamban dalam sensus resmi.

Jadi, ketika geisha wanita mulai muncul, mereka tidak membutuhkan waktu lama untuk merebut gelar “geisha” dari para pria.

Geisha pria di zaman modern

Geisha pria di zaman modern hadir pesta di mana mereka dapat menunjukkan keterampilan tradisional. Mereka mampu menyanyi, menari, atau menceritakan dongeng dan lelucon lucu.

Akan tetapi, tidak banyak yang tersisa, karena dilaporkan hanya ada lima dari mereka yang tersisa di seluruh Jepang. Profesi kuno yang sudah berusia 700 tahun itu pun kini didominasi oleh kaum wanita.