Sejarah Komunis di Surakarta yang Meresahkan Raja hingga Rakyatnya

By Galih Pranata, Senin, 19 Juni 2023 | 09:00 WIB
Suasana sekaten antara tahun 1910-1930 yang bertempat di depan Masjid Agung Surakarta (alun-alun utara Surakarta). Sekaten pernah jadi saksi bisu disebarnya hektograf mengancam dalam sejarah komunis di Surakarta. (Boekhandel Vogel v.d. Heijde & Co./KITLV)

Nationalgeographic.co.id—Sekelompok pemuda misterius meracau ruang publik di Kota Surakarta pada tahun 1923. Sebuah laporan singkat dirangkum oleh pewartaan Belanda di tahun tersebut menggambarkan sejarah komunis di Surakarta.

Sebagaimana berita-berita Belanda yang terbit di tahun itu, memberitakan tentang sejumlah kekacauan yang ditimbulkan. Mulai dari serangan yang ditujukan kepada aristokrasi Surakarta hingga ruang-ruang publik masyarakat.

Koresponden dari Het volk: dagblad voor de arbeiderspartij merangkum sejumlah laporan dalam berita berjudul Branden en Bommen in Indië: Kommunistische aktie yang terbit 31 Desember 1923.

Ia menyebut sejumlah kekacauan di Surakarta sepanjang bulan September hingga November 1923 telah diketahhui pihak kepolisian Hindia Belanda. "Sekelompok 'geng' telah membuat keonaran," tulisnya.

'Geng' yang disinyalir membuat keonaran itu disebut oleh koresponden berkebangsaan Belanda dari De Semarangsche Locomotief adalah "sekelompok komunis." Barangkali, oknum ini jadi benih awal dari berkembangnya sejarah komunis di Surakarta.

Oknum itu diketahui melancarkan aksinya pada 17-18 September 1923 setelah ditemukan kebakaran oleh petugas patroli di gudang komedie-loodsen. Kemudian, kekacauan berlanjut pada sore hari tanggal 21 September 1923.

Kebakaran terjadi di gudang-gudang pameran di Aloon-aloon (alun-alun di depan Keraton Surakarta) terbakar. "Kerusakan yang ditimbulkan akibat kebakaran diperkirakan f.8 hingga f.9000," imbuh koresponden Het volk: dagblad voor de arbeiderspartij.

Tak puas membakar gudang pameran di alun-alun utara keraton, pembakaran juga terjadi di tempat peribadatan, sebuah masjid! 

Menariknya, tak cuma ruang publik di Surakarta yang jadi incaran, melainkan segala hal yang bersifat raja dan aristokrasi, serta saudagar kaya juga ikut terancam. 

Pada malam 24 hingga 25 September 1923, terjadi kebakaran di rumah-rumah Wirjopaniro, kamitoewa—kepala dukuh dalam administrasi perdesaan zaman Hindia Belanda di Jawa—kampung Undaan dan Ong Ting Wat di Laweyan.

Tercatat pada 30 September 1923, "para penjaga masjid tua M.N. (Masjid Wustho Mangkunegaran) menemukan api di tempat ibadah ini." Beruntung pengurus masjid berhasil memadamkan si jago merah tepat waktu sebelum melahap habis objek di dalamnya.

Masjid Wustho MN (Mangkunegaran) yang cukup tua, pernah menjadi sasaran pembakaran sejumlah oknum yang meresahkan di Surakarta pada 1923. (Kembangraps/Wikimedia Commons)

Penjagaan ketat dilakukan sepanjang Mangkunegaran dan keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Hal ini berhasil tatkala para penjaga mengetahui dan menggagalkan aksi pemuda yang hendak membakar warung makan di sekitar alun-alun utara.

Selepas bulan September, agaknya kekacauan belum berakhir. Pada sore hari tanggal 4 Oktober 1923, terjadi kepanikan di gedung Wayang Orang Sriwedari yang dikelola van her Röneker, karena ditemukan adanya kebakaran.

Setelah sempat mereda beberapa minggu, serangan kembali terjadi. Upaya pembakaran dilakukan oleh oknum setengah dua belas malam menjelang dini hari pada tanggal 13 Oktober. Telah ditemukan kebakaran di tempat penyimpanan gamelan sekaten.

Lain di tempat penyimpanan gamelan, sehari sebelumnyapada 12 Oktoberditemukan percobaan pembakaran di gudang rel dan Pekerjaan di Stasiun Balapan. Setelahnya, menjelang malam sekaten, sebuah hektograf disebar. 

Hektograf yang berisi ancaman kepada para pengunjung sekaten, membuat kepanikan. Hektograf itu berbunyi: "peringatan untuk para pengunjung sekaten, yang mencintai hidup mereka... (peringatan bahaya)."

Melalui hektograf mengancam itu, menjadi satu bukti adanya tindak radikalisme yang sudah terjadi dalam sejarah komunis di Surakarta.

Sore hari tanggal 18 Oktober 1923, sebuah bom dijatuhkan di sekitar alun-alun utara di dekat mobil menantu sunan (sultan). Seorang pria desa, yang pada awalnya dikira sebagai pelaku, terluka di bagian tumit segera dibekuk. Namun, ia bukanlah pelakunya.

Akibat pelaku masih terus berkeliaran, pada malam 18 Oktober 1923, Pangeran Adipati Arya X mendengar ledakan keras di luar gedung Astana Mangkunegaran. Dari hasil investigasi ditemukan batu yang diduga bom telah dijatuhkan.

Beberapa hari menjelang, di sore hari tanggal 20 Oktober, sebuah bom yang serupa dijatuhkan di Mangkunegaran, dilempar ke mobil Pakubuwana X. Beruntung, bom itu tidak meledak.

Mobil Benz Victoria dari Eropa milik Pakubuwana X yang jadi saksi bisu lemparan bom oleh oknum radikalis di Surakarta pada 1923. (Wikimedia Commons)

Setelah sejumlah serangan, pasukan khusus dan detektif mulai dikerahkan. Sayangnya, serangan komunis itu berlanjut pada malam hari tanggal 23 Oktober 1923. Kobaran api hampir membakar rumah onderdistriktshoofd—setara camat—Pasar Kliwon. Api akhirnya secara cepat dipadamkan.

Upaya penangkapan akhirnya berhasil dilakukan. Pada 7 November, upaya pembakaran sejumlah pemuda misterius akhirnya bisa digagalkan oleh salah satu detektif di daerah Pajang.

Lalu, pada tanggal 8 November 1923, diduga menjadi serangan terakhir dalam ruang publik masyarakat Solo. Setelahnya, satu kali lagi serangan tercatat dalam jejak sejarah komunis di Surakarta, ketika saudagar batik di Laweyan jadi targetnya.

Ditemukan pembakaran di gudang Wirjoatmodjo, seorang konglomerat dan saudagar batik di Laweyan yang merugi. Namun, selepas kejadian ini, tidak tercatat lagi sejumlah kericuhan sampai ditutupnya berita pada Desember 1923. 

Menariknya, meski beberapa 'geng' sudah dapat dibekap kepolisian, masih terjadi penyerangan lagi sebelum akhirnya mereda begitu saja. Hingga sumber koran Belanda terakhir diterbitkan, sudah tidak ditemukan lagi aksi meresahkan oknum komunis.

Meski sempat mereda begitu saja, masih belum diketahui secara jelas motif apa yang menjadi motor dari serangkaian serangan tak bertuan. Hal itu menjadi bukti radikalisme sejarah komunis di Surakarta.