Atmosfer Bumi Mencapai Suhu Tertinggi setelah Dihantam Badai Matahari

By Ricky Jenihansen, Sabtu, 24 Juni 2023 | 14:00 WIB
Badai Matahari menyebabkan lonjakan suhu atmosfer Bumi. (Shutterstock)

Nationalgeographic.co.id - Hasil penelitian baru dari ilmuwan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengungkapkan kondisi tak biasa atmosfer Bumi. Termosfer—lapisan tertinggi kedua atmosfer Bumi, saat ini mencapai suhu tertinggi selama 20 tahun terakhir setelah dihantam badai Matahari.

Lonjakan suhu atmosfer Bumi, menurut penelitian tersebut, disebabkan oleh badai geomagnetik yang terjadi berturut-turut. Kondisi tersebut menunjukkan "solar maximum" semakin dekat.

Suhu termosfer, lapisan atmosfer Bumi tertinggi kedua menunjukan puncak suhu tertinggi yang pernah diketahui. Suhu tersebut terjadi setelah menyerap energi dari badai geomagnetik yang menghantam Bumi tahun ini.

Suhu di lapisan termosfer kemungkinan akan terus meningkat selama beberapa tahun ke depan karena aktivitas matahari meningkat. Kondisi itu dapat berdampak pada satelit yang mengorbit Bumi, para ahli memperingatkan.

Termosfer memanjang dari bagian atas mesosfer Bumi, sekitar 85 kilometer di atas tanah, ke bagian bawah eksosfer, yang dimulai sekitar 600 km di atas tanah, menurut NASA.

Sementara di luar eksosfer adalah luar angkasa. Eksosfer adalah lapisan Bumi yang terletak paling luar.

Selama lebih dari 21 tahun, NASA telah mengukur suhu termosfer melalui radiasi infra merah yang dipancarkan oleh molekul karbon dioksida dan oksida nitrat.

Para ilmuwan mengonversi data yang dikumpulkan oleh satelit Termosfer, Ionosfer, Mesosfer, Energetika, dan Dinamika (TIMED) NASA, menjadi Indeks Iklim Termosfer (TCI), yang diukur dalam terawatts, atau TW (1 TW sama dengan 1 triliun watt).

Nilai TCI, yang melonjak pada 10 Maret 2023, memuncak pada 0,24 TW, kata Martin Mlynczak, seorang peneliti terkemuka pada misi TIMED di Pusat Penelitian Langley NASA di Virginia dan pencipta TCI, kepada Live Science.

Terakhir kali TCI setinggi ini adalah 28 Desember 2003. Data lonjakan suhu ini telah dijelaskan dan dipublikasikan di jurnal, tetapi belum ditinjau oleh rekan sejawat.

Lonjakan suhu disebabkan oleh tiga badai geomagnetik pada bulan Januari dan Februari selama tahun 2023.

Lonjakan tersebut disebabkan oleh gangguan besar pada medan magnet bumi yang dipicu oleh pecahan plasma magnet yang bergerak cepat. Pecahan plasma itu yang dikenal sebagai coronal mass ejections (CMEs) dan lebih jarang pada aliran partikel bermuatan tinggi.

Ilustrasi badai matahari (Shutterstock)

Kondisi tersebut dikenal sebagai badai Matahari, yang keduanya dimuntahkan oleh matahari.

Badai Matahari ini menyimpan energinya di termosfer dan menyebabkannya memanas," kata Mlynczak. "Peningkatan hasil pemanasan dalam peningkatan tingkat emisi inframerah dari oksida nitrat dan karbon dioksida di termosfer."

Biasanya, emisi infra merah setelah badai mendinginkan termosfer, tambahnya, tetapi ketika badai datang kembali suhunya tetap tinggi.

Sejak lonjakan tersebut, setidaknya dua badai geomagnetik lagi telah menghantam planet kita. Yang pertama pada 24 Maret 2023, yang merupakan badai matahari terkuat yang menghantam Bumi selama lebih dari enam tahun.

Kemudian badai lain yang sama kuatnya pada 24 April 2023. "Nilai TCI mencatat badai ini tetap tinggi tetapi belum melewati puncak Maret, kata Mlynczak.

Badai geomagnetik menjadi lebih sering dan intens selama Solar Maximum, bagian dari siklus matahari kira-kira 11 tahun. Dalam keadaan tersebut, matahari menjadi paling aktif dan ditutupi bintik matahari gelap dan lingkaran plasma yang memuntahkan CME dan angin matahari.

Akibatnya, termosfer Bumi juga mengikuti siklus kira-kira 11 tahun, kata Mlynczak.

Ilmuwan pemerintah dari NASA dan NOAA memperkirakan solar maximum berikutnya akan tiba pada tahun 2025, yang berarti tren pemanasan kemungkinan akan berlanjut selama beberapa tahun ke depan.

Perubahan termosfer dapat menimbulkan tantangan bagi satelit di orbit rendah Bumi yang diposisikan di sekitar batas atas termosfer, kata Mlynczak.

"Termosfer mengembang saat menghangat," kata Mlynczak, menghasilkan "peningkatan hambatan aerodinamis pada semua satelit dan puing-puing ruang angkasa."

Peningkatan tarikan ini dapat menarik satelit lebih dekat ke Bumi, katanya, yang dapat menyebabkan satelit saling bertabrakan atau benar-benar jatuh dari orbit.

Seperti yang terjadi satelit SpaceX Starlink pada Februari 2022 setelah badai geomagnetik yang mengejutkan.

Operator satelit dapat menghindari masalah ini dengan memposisikan pesawat ruang angkasa mereka di orbit yang lebih tinggi bila diperlukan.

Akan tetapi cuaca luar angkasa yang tidak dapat diprediksi, menurut mereka, membuat sulit untuk mengetahui kapan manuver ini diperlukan hingga sering terlambat.

Solar maximum juga bisa tiba lebih cepat dari yang diperkirakan. Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa puncak aktivitas matahari dapat tiba paling cepat akhir 2023.

Badai Matahari dapat menjadi lebih kuat dari perkiraan semula. Jika skenario ini berjalan, maka risiko bencana satelit semakin meningkat.

Hasil penelitian tersebut telah diterbitkan dalam jurnal Frontiers in Astronomy and Space Sciences. Jurnal tersebut berjudul "Deciphering solar magnetic activity: The (solar) hale cycle terminator of 2021."

Namun, dalam rentang waktu yang lebih lama, suhu di termosfer menurun, karena kelebihan CO2 di termosfer akibat perubahan iklim meningkatkan emisi inframerah ke luar angkasa.