Nationalgeographic.co.id - Sejumlah penelitian telah menunjukkan bagaimana perubahan iklim berdampak pada keseluruhan Bumi, tetapi sejumlah di antaranya masih membingungkan ilmuwan. Salah satu di antaranya adalah memahami bagaimana awan merespons perubahan iklim.
Para ilmuwan kemudian menggabungkan data dari Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) selama 26 tahun terakhir. Mereka kemudian menemukan bahwa Bumi memantulkan lebih sedikit cahaya dan menjadi lebih redup dari tahun ke tahun karena perubahan iklim.
Hasil penelitian tersebut telah dijelaskan di dalam makalah yang diterbitkan di jurnal Geophysical Research Letters. Jurnal tersebut diterbitkan dengan judul "Earth's Albedo 1998–2017 as Measured From Earthshine."
"Sinar matahari bersih yang mencapai sistem iklim bumi bergantung pada radiasi matahari dan pantulan bumi (albedo). Kami telah mengamati sinar bumi dari Big Bear Solar Observatory untuk mengukur albedo terestrial," tulis peneliti.
Reflektansi Bumi adalah parameter iklim mendasar yang mereka ukur dari Big Bear Solar Observatory antara tahun 1998 dan 2017.
Mereka mengamati cahaya bumi menggunakan teknik fotometrik modern untuk secara tepat menentukan perubahan harian, bulanan, musiman, tahunan, dan dekade dari cahaya bumi.
Fenomena yang menghubungkan iklim dan kecerahan Bumi adalah awan. Awan adalah bagian yang sangat rumit dari teka-teki iklim, menurut para ilmuwan.
Para ilmuwan telah berjuang untuk memodelkan bagaimana awan akan merespons perubahan iklim dan bagaimana respons tersebut pada gilirannya akan membentuk iklim masa depan.
Akan tetapi para ilmuwan di balik studi tersebut telah berpendapat bahwa temuan reflektifitas (kemampuan memantulkan cahaya) bergantung pada dinamika awan di atas Samudra Pasifik.
Penelitian ini bergantung pada pengamatan fenomena yang disebut "earthshine" selama dua dekade, yaitu cahaya yang dipantulkan Bumi ke permukaan sisi gelap bulan.
Hasil tersebut kemudian dikombinasikan dengan pengamatan satelit terhadap reflektifitas Bumi, atau albedo, dan kecerahan matahari.
"Kami menemukan fluktuasi albedo antar-tahunan bersifat global, sementara variasi besar albedo dalam setiap malam dan pengembaraan musiman cenderung rata-rata setiap tahun," menurut para peneliti.
Fitur yang berbeda di bumi memantulkan jumlah cahaya yang berbeda. Sangat sedikit pantulan berasal dari lautan, sementara pantulan dari daratan sekitar dua kali lipat dari pantulan lautan.
Sementara itu, awan memantulkan sekitar setengah dari sinar matahari yang menerpa permukaan bulan, dan salju serta es memantulkan sebagian besar cahaya yang mereka terima.
Ilmuwan di Big Bear Solar Observatory di California Selatan telah mempelajari bagaimana cahaya bumi berfluktuasi sejak tahun 1998, mencari perubahan pada skala waktu dari harian ke dekade.
Para peneliti mencatat bahwa pengukuran ini hanya bersifat relatif dan membutuhkan pengamatan yang lebih kuat, bahkan mungkin dari satelit kubus NASA atau observatorium bulan.
Dalam penelitian ini, para ilmuwan menggabungkan data tersebut dengan pengamatan dari proyek NASA's Clouds and the Earth's Radiant Energy System (CERES).
Instrumen tersebut telah beroperasi sejak 1997 dengan instrumen di sejumlah satelit NASA dan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).
Para peneliti mengumpulkan kedua kumpulan data untuk mengetahui apakah dan bagaimana kecerahan Bumi telah berubah.
Albedo Bumi (atau reflektansi) adalah fraksi dari radiasi matahari gelombang pendek yang dipantulkannya kembali ke angkasa.
Ini adalah penentu penting dari iklim bumi, karena, dalam arti luas, perubahan iklim muncul dari evolusi simultan dari intensitas matahari, albedo bumi, dan isolasi rumah kaca.
Selama rentang dua dekade penuh, jumlah cahaya yang dipantulkan Bumi turun sekitar 0,5 persen—atau sekitar setengah watt lebih sedikit cahaya per meter persegi. Satu meter persegi sedikit kurang dari 11 kaki persegi.
Sebagian besar perubahan terjadi dalam tiga tahun terakhir kumpulan data cahaya bumi, yang dianalisis para peneliti hingga 2017. Data CERES berlanjut hingga 2019 dan menunjukkan penurunan yang lebih tajam pada akhirnya.
Dan selama waktu itu, para peneliti menentukan, kecerahan matahari tidak terhubung secara bermakna dengan penurunan pantulan. Kecerahan matahari telah melewati dua periode aktivitas maksimum dan satu periode tenang selama penelitian.
Jadi perubahan jumlah cahaya yang dipantulkan Bumi pasti berasal dari perubahan Bumi itu sendiri, demikian alasan para ilmuwan.
Pada pertengahan 1990-an, albedo yang berubah adalah (dan mungkin masih) yang paling sedikit dipahami dari ketiga parameter tersebut.
"Ketidakpastian itu memotivasi upaya kami untuk mengukur albedo bumi secara terus-menerus selama setidaknya satu siklus matahari penuh (dua dekade)," para peneliti menjelaskan.
"Seri data yang panjang juga akan membantu mengeksplorasi korelasi yang mungkin ada antara berbagai aktivitas matahari dan pemantulan terestrial."
Secara khusus, data CERES mencatat hilangnya awan cerah di ketinggian rendah di atas Samudra Pasifik bagian timur, di lepas pantai barat Amerika, tempat para ilmuwan juga mencatat peningkatan suhu yang mencolok di permukaan samudra.
Dan karena cahaya yang tidak dipantulkan ke luar angkasa terperangkap dalam sistem Bumi, perubahan kecerahan juga berimplikasi pada masa depan iklim, berpotensi meningkatkan laju perubahan iklim akibat ulah manusia.