Manisnya Tebu, Bermulanya Sejarah Kolonialisme Belanda di Jawa

By Galih Pranata, Minggu, 25 Juni 2023 | 08:00 WIB
Penggilingan tebu di Malang sekitar 1920. Manisnya tebu mendorong bermulanya sejarah kolonialisme Belanda di Jawa.
Penggilingan tebu di Malang sekitar 1920. Manisnya tebu mendorong bermulanya sejarah kolonialisme Belanda di Jawa. (KITLV)

Pada tahun 1850-an, Belanda mengumpulkan informasi rinci tentang lebih dari 10.000 desa dan membuat rencana di mana daerah tangkapan air diidentifikasi dengan radius sekitar 4-7 kilometer di sekitar setiap pabrik.

Seorang peneliti, dr. Posthumus berpose bersama tebu berumur satu tahun di ladang uji Kebun Percobaan Industri Gula Jawa di Pasuruan, 1927.
Seorang peneliti, dr. Posthumus berpose bersama tebu berumur satu tahun di ladang uji Kebun Percobaan Industri Gula Jawa di Pasuruan, 1927. (KITLV)

"Selama sistem tersebut, jutaan orang Jawa bekerja di pengolahan dan pengangkutan gula—baik melalui kerja paksa maupun kerja bebas," terusnya.

Sistem ini menjadi begitu masif, sehingga pada pertengahan abad ke-19, produksi gula di Jawa menyumbang sepertiga dari pendapatan pemerintah Belanda dan 4 persen dari PDB Belanda.

Pada tahun 1870, sebuah Undang-Undang Agraria disahkan di Belanda yang menghapus kerja paksa dan mengizinkan perusahaan swasta untuk menyewa tanah di daerah yang jarang penduduknya.

Kelompok tenaga kerja bergeser dari unit keluarga paksa menjadi pelayan kontrak, kebanyakan petani buta huruf dari Jawa dan Singapura.

Hal ini menyebabkan investasi yang meluas di perkebunan yang lebih besar dan ekspansi besar-besaran ke Jawa bagian barat dan Sumatra. Tercatat terdapat 94 pabrik gula Belanda bertenaga air, yang mengolah tebu mentah menjadi gula rafinasi.

Salah satu gambaran perusahaan swasta milik orang Belanda, Van Nelle, menjadi besar karena onderneming tebu suksesnya di Semarang. Bermula dari toko sembako sederhana di Rotterdam, Van Nelle menjelma menjadi raksasa industri tebu terbesar di Jawa.

Kisah perusahaan Van Nelle bermula saat Johannes dan Hendrica van Nelle, mula-mula mendirikan sebuah toko di Rotterdam yang menjual kopi, teh, dan tembakau. Usahanya lantas berkembang setelah Belanda membangun koloninya di Jawa.

Terhitung sejak abad ke-19, usaha keluarga Johannes dan Hendrica van Nelle terus berkembang menjadi usaha berbasis pabrik pengolahan bahan baku. Mereka memperoleh bahan baku dengan membuka perkebunan tebu sendiri di Jawa.

Seiring berkembangnya perkebunan tebu dan usaha keluarga Van Nelle, maka toko mereka di Rotterdam disulap menjadi sebuah perusahaan besar. Van Nelle mengembangkan kantor industrinya di Semarang, lengkap dengan perkebunannya.

Mereka juga memikirkan untuk dapat menjual komoditas perkebunannya kepada orang-orang di Hindia Belanda. Pauline K.M van Roosmalen menyebut bahwa Van Nelle merupakan perusahaan di Rotterdam yang menganggap koloni penting.

Wilayah koloni mereka di Jawa di satu sisi berperan penting sebagai pemasok bahan mentah, seperti halnya tebu, dan di sisi lain sebagai target pasar untuk produk akhir yang dibuat dengan bahan mentah tersebut.

Semakin besar kemampuan Van Nelle melebarkan kawasan perkebunannya, serta meningkatkan kuantitas dan kualitas produksinya, maka akan semakin mudahnya mereka menjelma menjadi raksasa industri pengolahan tebu menjadi gula di Eropa.

Tak heran, "Jawa disebut-sebut menjadi salah satu koloni yang paling menguntungkan secara finansial di dunia," ungkap James Hancock dalam tulisannya. Manisnya tebu, sejatinya mendorong bermulanya sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia.