Nationalgeographic.co.id—Penyakit anjing gila atau rabies sebenarnya merupakan penyakit kuno atau penyakit yang sudah ada sejak dulu kala. Penyakit ini setidaknya telah ada sejak periode Mesopotamia kuno dan era Kekaisaran Jepang.
Meski rabies telah ada sejak dulu, manusia belum bisa berhasil menghilangkan penyakit ini sepenuhnya. Di Indonesia saja, misalnya, kejadian luar biasa (KLB) rabies masih ada. Pada tahun ini, KLB rabies tercatat terjadi di Kabupaten Sikka dan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengumumkan bahwa penyakit anjing gila atau rabies ini kembali menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Berdasarkan pengumuman Kemenkes RI, sepanjang tahun 2023 hingga April, setidaknya ada 11 kasus kematian penduduk Indonesia yang disebabkan oleh rabies.Mayoritas kasus rabies tersebut disebabkan oleh gigitan anjing. "Ada juga beragam hewan liar yang bertindak sebagai reservoir virus di berbagai benua, seperti rubah, rakun, dan kelelawar, tapi 95% karena gigitan anjing,” tutur Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Imran Pambudi, pada awal Juni 2023.
Imran juga menegaskan bahwa rabies adalah salah satu masalah kesehatan yang besar di Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir, kasus gigitan hewan rabies di Indonesia mencapai hingga lebih dari 80.000 kasus dengan rata-rata kematian mencapai 68 orang per tahunnya.
Tak hanya di Indonesia, penyakit rabies juga menjadi perhatian khusus otoritas kesehatan di Jepang. Dalam sebuah makalah studi bertajuk "The Politics of Breeding: Rabies Prevention and the Shaping of Human-Dog Relations in Modern Japan", disebutkan berbagai upaya telah dilakukan otoritas di Jepang modern, termasuk Kekaisaran Jepang, demi mencegah merebaknya wabah rabies di negeri sakura itu.
Jepang, seperti negara-negara Asia Timur lainnya, memiliki sejarah panjang kesadaran dan respons sosial terhadap rabies. "Pencegahan rabies telah menjadi bagian penting dari administrasi kesehatan masyarakat karena tingginya insiden rabies di Jepang pada zaman modern," tulis peneliti Yongyuan Huang dalam makalah yang terbit di Korean Journal of Medical History pada 2022 itu.
Pada periode pra-modern, pengetahuan tentang etiologi dan pengobatan rabies terakumulasi dalam kerangka pengobatan tradisional karena pengaruh Tiongkok, dan ada respons hukum yang mengharuskan pemilik anjing untuk mengendalikan atau memusnahkan rabies.
Namun, karena rabies tidak umum atau serius hingga abad ke-18, rabies tidak muncul sebagai masalah sosial.
Sejak akhir abad ke-19, rabies semakin sering terjadi di Jepang setelah dibukanya pelabuhan. Di tengah-tengah itu, rabies menjadi isu sosial dan menjadi faktor penting dalam perubahan status anjing dan reorganisasi hubungan manusia-anjing.
Berdasarkan pengetahuan rabies Barat dan tindakan karantina, Jepang menetapkan sistem karantina yang berfokus pada pengendalian dan pengelolaan ternak, pemusnahan anjing liar, dan vaksinasi melalui administrasi karantina dan praktik pengembangan vaksin rabies di Jepang.
"Sistem pencegahan rabies di Jepang yang secara bertahap dibangun berdasarkan pengetahuan dan kebijakan pencegahan rabies dari Eropa dan Amerika Serikat, dipusatkan pada pengendalian anjing ternak, pemusnahan anjing liar, dan vaksinasi," papar Huang yang saat penelitian menjabat sebagai Associate Professor di Department of Korean & Center for East Asian Studies, School of International Studies, Sun Yat-sen University.
Huang menjelaskan bahwa fokus pihak berwenang Jepang dalam pencegahan epidemi rabies adalah untuk melindungi manusia, bukan anjing. Jadi, sistem ini berusaha menghilangkan bahaya rabies pada sumbernya dengan mengurangi jumlah semua anjing, termasuk anjing ternak.
"Di bawah mekanisme pencegahan epidemi ini, ruang kelangsungan hidup anjing sebagai objek administrasi kesehatan masyarakat terkikis secara signifikan," tulis Huang. "Pada akhirnya, ini sama saja dengan mempersempit ruang bertahan hidup anjing itu sendiri."
Kebijakan pengendalian rabies Jepang mencapai hasil yang luar biasa setelah tahun 1926 dan hampir mencapai tujuan pemberantasan rabies setelah tahun 1934.
Meskipun perluasan vaksinasi terhadap ternak berkontribusi pada perolehan 'pencapaian' ini, tidak boleh diabaikan bahwa pada saat yang sama, pemusnahan anjing liar disertai dengan kematian banyak anjing liar.
Setelah pecahnya Perang Tiongkok-Jepang, terjadi perubahan dalam kebijakan pengendalian rabies Jepang. Perang menjadikan anjing sebagai sumber daya militer yang penting sebagai penyedia anjing perang dan bulu. Dengan latar belakang tersebut, anjing direpresentasikan dan disebut sebagai warga negara kedua yang setia melayani militerisme.
"Selama masa perang, Kekaisaran Jepang mendorong orang untuk menyumbangkan anjing mereka ke militer sehingga bulu mereka dapat digunakan untuk membuat mantel militer, dan atas nama program pencegahan rabies yang ada, target pemusnahan anjing liar diperluas dari untuk anjing liar ke semua anjing non-militer," tulis Huang.
Bagi para anjing di Jepang, kebijakan dari Kekaisaran Jepang itu berarti kematian mereka. Tidak termasuk anjing yang dipilih untuk dinas militer karena kekurangan makanan di masa perang dan pertahanan udara, semua anjing, baik domestik maupun liar, harus dihancurkan di tengah kebuntuan antara penyebab kesehatan masyarakat yang disebut pencegahan rabies dan ideologi militeristik di masa perang.
Menurut Huang, kebijakan ini menciptakan struktur diskriminasi antara anjing peliharaan dan anjing liar, kemudian antara anjing militer dan anjing non-militer. Jadi, kebijakan politis untuk memusnahkan seluruh anjing non-militer dengan dalih mencegah rabies ini perlu diwaspadai agar tak terjadi lagi ke depannya.
Selain kebijakan diskriminasi terhadap anjing, penyakit anjing gila itu sendiri juga harus diwaspadai. Masyarakat dunia harus paham cara mencegah rabies dan cara pertolongan pertama terhadap kasus gigitan yang berpotensi menularkan rabies.
Khusus di Indonesia, saat ini setidaknya ada 26 provinsi yang menjadi endemi rabies. Hanya ada 11 provinsi yang bebas rabies, yakni Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Papua Barat, Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
Karena begitu bahayanya penyakit anjing gila atau rabies ini, masyarakat Indonesia diharapkan bisa menerapkan sikap waspada dan bersegera untuk melakukan pertolongan pertama saat digigit hewan penular rabies. Pertolongan pertama yang bisa dilakukan adala mencuci luka gigitan dengan sabun/detergen pada air mengalir selama 15 menit dan memberikan antiseptik atau sejenisnya.
Setelah itu, masyarakat juga perlu segera melakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan terdekat untuk kembali melakukan pencucian luka dan mendapatkan vaksin antirabies (VAR) dan serum antirabies (SAR). Sebab, kematian akibat rabies sebagian besar diakibatkan terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan.
Penyakit anjing gila atau rabies sebenarnya merupakan penyakit kuno atau penyakit yang sudah ada sejak dulu kala. Penyakit ini setidaknya telah ada sejak periode Mesopotamia kuno dan era Kekaisaran Jepang.
Meski rabies telah ada sejak dulu, manusia belum bisa berhasil menghilangkan penyakit ini sepenuhnya. Di Indonesia saja, misalnya, kejadian luar biasa (KLB) rabies masih ada. Pada tahun 2023 ini, KLB rabies tercatat terjadi di Kabupaten Sikka dan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengumumkan bahwa penyakit anjing gila atau rabies ini kembali menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Berdasarkan pengumuman Kemenkes RI, sepanjang tahun 2023 hingga April, setidaknya ada 11 kasus kematian penduduk Indonesia yang disebabkan oleh rabies. Mayoritas kasus rabies tersebut disebabkan oleh gigitan anjing. "Ada juga beragam hewan liar yang bertindak sebagai reservoir virus di berbagai benua, seperti rubah, rakun, dan kelelawar, tapi 95% karena gigitan anjing,” tutur Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Imran Pambudi, pada awal Juni 2023.
Imran juga menegaskan bahwa rabies adalah salah satu masalah kesehatan yang besar di Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir, kasus gigitan hewan rabies di Indonesia mencapai hingga lebih dari 80.000 kasus dengan rata-rata kematian mencapai 68 orang per tahunnya.
Tak hanya di Indonesia, penyakit rabies juga menjadi perhatian khusus otoritas kesehatan di Jepang. Dalam sebuah makalah studi bertajuk "The Politics of Breeding: Rabies Prevention and the Shaping of Human-Dog Relations in Modern Japan", disebutkan berbagai upaya telah dilakukan otoritas di Jepang modern, termasuk Kekaisaran Jepang, demi mencegah merebaknya wabah rabies di negeri sakura itu.
Jepang, seperti negara-negara Asia Timur lainnya, memiliki sejarah panjang kesadaran dan respons sosial terhadap rabies. "Pencegahan rabies telah menjadi bagian penting dari administrasi kesehatan masyarakat karena tingginya insiden rabies di Jepang pada zaman modern," tulis peneliti Yongyuan Huang dalam makalah yang terbit di Korean Journal of Medical History pada 2022 itu.
Pada periode pra-modern, pengetahuan tentang etiologi dan pengobatan rabies terakumulasi dalam kerangka pengobatan tradisional karena pengaruh Tiongkok, dan ada respons hukum yang mengharuskan pemilik anjing untuk mengendalikan atau memusnahkan rabies. Namun, karena rabies tidak umum atau serius hingga abad ke-18, rabies tidak muncul sebagai masalah sosial.
Sejak akhir abad ke-19, rabies semakin sering terjadi di Jepang setelah dibukanya pelabuhan. Di tengah-tengah itu, rabies menjadi isu sosial dan menjadi faktor penting dalam perubahan status anjing dan reorganisasi hubungan manusia-anjing.
Berdasarkan pengetahuan rabies Barat dan tindakan karantina, Jepang menetapkan sistem karantina yang berfokus pada pengendalian dan pengelolaan ternak, pemusnahan anjing liar, dan vaksinasi melalui administrasi karantina dan praktik pengembangan vaksin rabies di Jepang.
"Sistem pencegahan rabies di Jepang yang secara bertahap dibangun berdasarkan pengetahuan dan kebijakan pencegahan rabies dari Eropa dan Amerika Serikat, dipusatkan pada pengendalian anjing ternak, pemusnahan anjing liar, dan vaksinasi," papar Huang yang saat penelitian menjabat sebagai Associate Professor di Department of Korean & Center for East Asian Studies, School of International Studies, Sun Yat-sen University.
Huang menjelaskan bahwa fokus pihak berwenang Jepang dalam pencegahan epidemi rabies adalah untuk melindungi manusia, bukan anjing. Jadi, sistem ini berusaha menghilangkan bahaya rabies pada sumbernya dengan mengurangi jumlah semua anjing, termasuk anjing ternak.
"Di bawah mekanisme pencegahan epidemi ini, ruang kelangsungan hidup anjing sebagai objek administrasi kesehatan masyarakat terkikis secara signifikan," tulis Huang. "Pada akhirnya, ini sama saja dengan mempersempit ruang bertahan hidup anjing itu sendiri."
Kebijakan pengendalian rabies Jepang mencapai hasil yang luar biasa setelah tahun 1926 dan hampir mencapai tujuan pemberantasan rabies setelah tahun 1934.
Meskipun perluasan vaksinasi terhadap ternak berkontribusi pada perolehan 'pencapaian' ini, tidak boleh diabaikan bahwa pada saat yang sama, pemusnahan anjing liar disertai dengan kematian banyak anjing liar.
Setelah pecahnya Perang Tiongkok-Jepang, terjadi perubahan dalam kebijakan pengendalian rabies Jepang. Perang menjadikan anjing sebagai sumber daya militer yang penting sebagai penyedia anjing perang dan bulu. Dengan latar belakang tersebut, anjing direpresentasikan dan disebut sebagai warga negara kedua yang setia melayani militerisme.
"Selama masa perang, Kekaisaran Jepang mendorong orang untuk menyumbangkan anjing mereka ke militer sehingga bulu mereka dapat digunakan untuk membuat mantel militer, dan atas nama program pencegahan rabies yang ada, target pemusnahan anjing liar diperluas dari untuk anjing liar ke semua anjing non-militer," tulis Huang.
Bagi para anjing di Jepang, kebijakan dari Kekaisaran Jepang itu berarti kematian mereka. Tidak termasuk anjing yang dipilih untuk dinas militer karena kekurangan makanan di masa perang dan pertahanan udara, semua anjing, baik domestik maupun liar, harus dihancurkan di tengah kebuntuan antara penyebab kesehatan masyarakat yang disebut pencegahan rabies dan ideologi militeristik di masa perang.
Menurut Huang, kebijakan ini menciptakan struktur diskriminasi antara anjing peliharaan dan anjing liar, kemudian antara anjing militer dan anjing non-militer.
Jadi, kebijakan politis untuk memusnahkan seluruh anjing non-militer dengan dalih mencegah rabies ini perlu diwaspadai agar tak terjadi lagi ke depannya.
Selain kebijakan diskriminasi terhadap anjing, penyakit anjing gila itu sendiri juga harus diwaspadai. Masyarakat dunia harus paham cara mencegah rabies dan cara pertolongan pertama terhadap kasus gigitan yang berpotensi menularkan rabies.
Khusus di Indonesia, saat ini setidaknya ada 26 provinsi yang menjadi endemi rabies. Hanya ada 11 provinsi yang bebas rabies, yakni Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Papua Barat, Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
Karena begitu bahayanya penyakit anjing gila atau rabies ini, masyarakat Indonesia diharapkan bisa menerapkan sikap waspada dan bersegera untuk melakukan pertolongan pertama saat digigit hewan penular rabies.
Pertolongan pertama yang bisa dilakukan adala mencuci luka gigitan dengan sabun/detergen pada air mengalir selama 15 menit dan memberikan antiseptik atau sejenisnya.
Setelah itu, masyarakat juga perlu segera melakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan terdekat untuk kembali melakukan pencucian luka dan mendapatkan vaksin antirabies (VAR) dan serum antirabies (SAR). Sebab, kematian akibat rabies sebagian besar diakibatkan terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan.