Nationalgeographic.co.id – Festival Lestari 5 di Kabupaten Sigi telah sukses terselenggara pada 22-25 Juni 2023. Gelaran yang diselenggarakan oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) membicarakan konsep pembangunan lestari, termasuk ekonomi lestari.
Oleh sebab itu, sejumlah forum diskusi dan presentasi untuk menjaring buyer produk-produk usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berbasis alam juga menjadi bagian dari festival ini.
Pada festival tersebut, pelaku UMKM dengan produk berbasis alam diberi ruang untuk memamerkan dan mempresentasikan produk inovasinya dalam Business and Partnership Matching Usaha Lestari yang digelar di Bukit Indah Doda, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat (23/6/2023).
Sebanyak 25 pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari Sembilan kabupaten anggota LTKL menjadi peserta Business and Partnership Matching Usaha Lestari.
Melalui acara tersebut mereka bisa mempromosikan inovasi-inovasi produk berbasis alam yang sudah diimplementasikan di daerahnya yang tergabung dalam LTKL. Agenda tersebut juga diharapkan dapat membuka peluang kemitraan antara UMKM dan calon investor yang memiliki visi yang sejalan.
Produk-produk yang dipresentasikan pun mencakup berbagai kategori, termasuk produk kerajinan tangan dari hasil hutan selain kayu, seperti rotan, bambu, dan sejenisnya. Ada pula kerajinan tangan berbahan rempah-rempah dan hasil perkebunan, seperti kecap.
Baca Juga: Memuliakan Durian dan Kopi, Hasil Alam Lestari dari Kabupaten Sigi
Salah satu pelaku UMKM dari Kabupaten Sigi, Harri Ramadhani, yang ikut berpartisipasi pada Business and Partnership Matching Usaha Lestari mengatakan, agenda tersebut menjadi kesempatan baik untuk berbagi inspirasi dengan pelaku UMKM dari daerah lainnya.
“Karena bisa jadi teknologi produksi yang kami gunakan di Sigi tidak sama dengan di daerah lainnya. Makanya, (ajang) ini penting agar kami bisa saling berbagi untuk meng-upgrade skala usaha kami,” ujar pria pemilik UMKM Pipikoro Coffee and Roastery tersebut.
Harri mengaku, pada 2017, dia sempat mengirim kopi berjenis robusta ke Jakarta. Kopi tersebut dia tanam dan olah sendiri. Sayangnya, semua ditolak karena tidak memenuhi standar yang ditentukan.
Setelah kembali ke Sigi, Harri pun melakukan pembenahan-pembenahan, mulai dari pemilihan jenis bibit, perawatan dan pemeliharaan tanaman kopi, hingga proses panen, pascapanen, pengemasan dan penjualan.
Baca Juga: Senja di Sigi, Mencicipi Kopi Pipikoro yang Ditanam Secara Sadar Lingkungan