Nationalgeographic.co.id—Sejarah mencatat bahwa teori konspirasi muncul berulang dan bahkan berkembang. Teori konspirasi soal pembangunan piramida Mesir kuno adalah salah satu contohnya.
Hari ini kita kerap mendengar segala macam klaim tentang piramida atau produk sains dan teknologi Mesir kuno lainnya yang dikaitkan dengan teori konspirasi. Piramida Mesir kuno misalnya, pembangunannya kerap dihubungkan dengan intervensi alien atau beberapa teknologi canggih rahasia yang melampaui apa pun yang dapat kita bayangkan hari ini.
Ide-ide seperti itu sejatinya terus muncul secara online atau dalam serial Netflix yang meragukan. Namun, para pendukungnya sering lupa bahwa mereka hanya menjalankan tradisi yang memiliki warisan panjang, yakni tradisi atau kebiasaan menciptakan cerita atau teori konspirasi untuk segala topik yang menarik, termasuk terkait piramida Mesir kuno.
Pada tahun 1998, misalnya, sejarah mencatat bahwa politisi Amerika Ben Carson mengklaim piramida Mesir kuno telah dibangun oleh tokoh alkitab, Joseph, untuk menyimpan biji-bijian. Meskipun ide ini mungkin tampak konyol, ide tersebut sebenarnya berakar pada Perjanjian Lama dan dipopulerkan oleh Santo Gregorius dari Tours.
Santo Gregorius adalah seorang sejarawan dan uskup abad keenam. Dia pernah menulis bahwa piramida “lebar di bagian bawah dan sempit di bagian atas agar gandum dapat dilemparkan ke dalamnya melalui lubang kecil, dan lumbung-lumbung ini dapat dilihat hingga hari ini."
Keyakinan tersebut sangat palsu menurut standar sekarang, tetapi teori konspirasi soal lumbung gandum dalam piramida itu menunjukkan bagaimana piramida telah lama menjadi sumber spekulasi dan dugaan.
Teori konspirasi bahwa piramida dipakai untuk penyimpanan biji-bijian masih termasuk ringan dan dapat dimengerti. Gagasan lain yang lebih tidak biasa mengaitkan pemikiran “aneh” dengan ideologi politik.
Pada akhir abad ke-19, kecemasan melanda Inggris ketika "skeptis Eropa" kontemporer takut bahwa sistem bobot dan ukuran kerajaan tradisional Inggris akan disingkirkan demi sistem metrik Prancis.
Seperti halnya kepanikan yang lebih baru tentang pengenalan Euro di awal tahun 2000-an, ketakutan akan pengaruh Eropa pada sistem Inggris terwujud dalam cara yang tidak biasa terkait dengan hilangnya identitas yang dirasakan.
Apa hubungannya ini dengan piramida? Nah, satu kelompok yang menentang sistem metrik menganut keyakinan bahwa inci kerajaan Inggris adalah unit pengukuran yang ilahi dan diberikan Tuhan.
Menurut gagasan ini, Piramida Besar bukanlah makam para penguasa kuno. Para penganut teori konspirasi ini meyakini bahwa piramida adalah gudang untuk pengukuran metrologi yang diilhami secara ilahi dan, yang lebih penting, tanda bahwa Inggris (dan ras Anglo-Saxon) telah mewarisinya.
Para "ahli metrologi" ini berpendapat bahwa monumen kuno itu telah dibangun menggunakan "hasta suci" Ibrani, yang kurang lebih sama dengan inci Inggris. Teori konspirasi ini mungkin tampak tidak masuk akal bagi kita sekarang, tetapi gagasannya sangat populer pada saat itu.
Teori konspirasi ini bahkan diperdebatkan dengan hangat di antara kelompok ilmiah dan agama, masyarakat terpelajar, dan forum publik. Para penganut teori konspirasi ini sangat berpengaruh sehingga berhasil menunda pengenalan sistem metrik untuk beberapa waktu.
Alien kuno dan pseudoarkeologi
Subjek peradaban kuno telah menjadi pemandangan spekulasi yang populer bagi berbagai penganut teori konspirasi sayap kanan. Dalam narasi-narasi alternatif ini, hal-hal yang “tidak diketahui” seputar peradaban kuno–terutama Mesir Kuno –memberikan "bukti" adanya peradaban berteknologi maju (dan biasanya “putih”) yang telah lama hilang atau bukti intervensi ekstra-terestrial dalam sejarah manusia.
Gagasan bahwa alien membangun piramida berasal dari akhir abad ke-19 dan kurang lebih merupakan hasil cerita fiksi fantasi. Pada tahun 1897, HG Wells menerbitkan The War of the Worlds, yang memulai serangkaian buku fiksi ilmiah serupa.
Secara khusus, pada tahun 1898, ada Edison's Conquest of Mars karya astronom dan penulis Amerika Garrett P Serviss. Dalam buku itu, diceritakan sang protagonis menemukan bahwa orang Mesir Kuno sebenarnya adalah orang Mars. Meskipun buku itu adalah karya fiksi, itu adalah yang pertama menghubungkan peradaban kuno dengan ras alien.
Kemudian, pada tahun 1968, buku Chariots of the Gods? Unsolved Mysteries of the Past karya Erich von Däniken mempopulerkan gagasan bahwa pengunjung asing, yang disalahartikan sebagai dewa, memengaruhi agama, budaya, dan teknologi Mesir.
Keyakinan akan campur tangan alien tetap sangat kuat, tetapi masih terus berkembang. “Dengan teori konspirasi semacam ini, yang satu mengikuti yang lain berdasarkan apa yang ada di zeitgeist (semangan waktu tertentu) saat itu,” jelas Nicky Nielsen, Dosen Senior bidang Egyptology di University of Manchester, seperti dilansir IFLScience.
“Saya pikir pada dasarnya, itu karena sebagian dari kita benar-benar sulit percaya bahwa Anda akan mengalami masalah sebanyak itu hanya untuk mengubur satu orang...," tutur Nielsen. Seperti yang telah diketahui para ilmuwan sejauh ini, pembangunan piramida Mesir kuno yang megah membutuhkan ribuan pekerja dan waktu bertahun-tahun.
"Saya pikir sebagian dari pikiran manusia berkata 'ya, pasti ada penjelasan yang lebih baik dari itu',” imbuh Nielsen.
Banyak dari ide-ide teori konspirasi seputar piramida Mesir kuno dan lien ini bergantung pada pseudoarkeologi. Ilmu arkeologi palsu itu menolak metodologi ilmiah, bukti yang diterima, dan analisis data yang mendukung penceritaan selektif untuk mempromosikan narasi yang bias.
Dalam situasi ini, bukti dan interpretasi yang disepakati diabaikan atau dicabut dari konteksnya dan disajikan (kembali) untuk mendukung pandangan yang sesuai secara historis dan budaya. Sering kali, ide-ide ini secara langsung atau tidak langsung terkait dengan ideologi dan prasangka rasis dan nasionalis modern.
Pada intinya, para penganut teori konspirasi terkait piramida menyangkal bahwa peradaban kuno non-Eropa, baik dari dari Mesir hingga Maya, mungkin bisa begitu maju.
Sangkalan itu menghapus pencapaian orang-orang non-Eropa di masal lau dan mengabaikan fakta bahwa kontribusi mereka terhadap sejarah kita sangat mengesankan dan menginspirasi tanpa bantuan pengaruh misterius.
“Menurut saya, bagi publik, hal terpenting yang harus diperhatikan saat membaca hal-hal ini adalah tidak meremehkan orang-orang kuno dan tidak berasumsi bahwa kuno sama dengan bodoh,” kata Nielsen.
“Bukan itu masalahnya; dalam hal kemampuan, dalam hal kapasitas inovasi, tidak ada perbedaan antara Anda dan saya dengan orang Mesir kuno 6.000 tahun yang lalu, atau orang Romawi kuno. Mereka memiliki–kita semua memiliki– kapasitas yang sama untuk pemecahan masalah yang sangat kreatif dan inovatif.”