Saat bertempur, seorang samurai Kekaisaran Jepang dilengkapi oleh baju zirah yang rumit. Baju zirah ini masih diakui secara global sebagai lambang ikonik kekuatan dan kebajikan militer Kekaisaran Jepang.
Keindahan baju zirah samurai berasal dari budaya visual yang menghargai perpaduan unik antara kebrutalan dan keindahan. “Lempengan besi dipasangkan dengan tali sutra halus,” tulis Kerry Sullivan di laman Ancient Origins.
Setiap elemen baju zirah samurai sangat penting dan dipersonalisasi bagi penggunanya. Baju zirah membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk dibuat. Sayangnya, hanya sedikit yang tetap utuh selama berabad-abad.
Pengaruh Tiongkok dan Korea
Artefak yang mewakili baju zirah khas Jepang berasal dari abad ke-4 Masehi. Baju zirah ini sangat dipengaruhi oleh desain baju zirah Tiongkok dan Korea kuno.
Baju zirah Jepang seperti yang kita kenal sekarang tidak muncul sampai kelas samurai muncul, sekitar abad ke-8. Sebelum itu, Kekaisaran Jepang tidak memiliki kekuatan militer yang efektif.
Perang saudara dan perebutan wilayah terus terjadi di masa itu. Keselamatan pun terancam. Seorang daimyo atau tuan tanah tidak bisa mengandalkan militer kekaisaran untuk melindungi wilayah. Maka, ia pun menyewa prajuritnya sendiri.
Separatis, suku-suku independen, dan orang-orang yang tidak berhasil mengancam stabilitas kekaisaran serta keselamatan orang-orang biasa.
Tidak dapat mengandalkan militer negara untuk perlindungan, siapa pun yang mampu melakukannya (yaitu pemilik tanah dan penguasa provinsi) menyewa tentara mereka sendiri.
Kekuatan ini, yang dibentuk oleh para pemimpin klan, pada dasarnya adalah perkumpulan perlindungan swasta atau pasukan mini. Mereka mahir dalam pertempuran berkuda.
Kata samurai berasal dari kata kerja Jepang kuno 'untuk melayani'. Seiring dengan berjalannya waktu, otoritas Kaisar Jepang berkurang dan kekuatan elite bersenjata tumbuh. Pada abad ke-12, samurai yang bekerja untuk shogun menjadi kelas penguasa di Kekaisaran Jepang.
Baju Zirah Samurai, kuat sekaligus indah bak mahakarya dewa
Kehidupan seorang samurai di Kekaisaran Jepang tidaklah mudah. Perang berkecamuk hampir terus-menerus selama 700 tahun pemerintahan militer Kekaisaran Jepang.
Selain itu, sifat pertempuran terus berubah. Panahan di atas kuda membuka jalan bagi infanteri dengan pedang. Setelah itu, para samurai menggunakan senjata api yang diimpor dari Eropa atau Tiongkok. Banyaknya variasi serangan militer membutuhkan baju zirah yang fleksibel dan tidak bisa ditembus oleh beragam senjata.
Upaya untuk menciptakan baju zirah yang serba sempurna akhirnya menciptakan baju perang khas Kekaisaran Jepang yang kuat namun indah.
Samurai dibungkus dari ujung kepala sampai ujung kaki dalam serangkaian lapisan yang saling tumpang tindih. Lapisan itu terdiri dari besi, kulit, logam mulia, dan sutra.
Baju pelindung samurai terdiri dari pelindung bahu, tulang kering, lengan baju, pelindung paha, rok dan pelindung dada. Selain itu, ada juga pelindung kepala, sarung tangan, pelindung muka dan sepatu bot.
Ada lapisan bantalan dari sutra, serta berbagai aksesoris yang sangat diperlukan. Seorang samurai biasanya dilengkapi dengan dua pedang, busur dan panah, topi, tongkat militer. Mantel tahan api dan kipas lipat besar yang dihiasi dengan titik matahari terbit berwarna merah besar juga tidak ketinggalan.
Dengan semua aksesoris dan pelindung, orang mungkin akan bertanya-tanya berapa berat baju zirah samurai. Beratnya hanya sekitar 18 kg, bandingkan dengan baju zirah seberat 27 kg yang digunakan oleh kesatria Eropa.
Keindahan yang dituangkan dalam penciptaan baju zirah seorang samurai
Samurai terkenal dengan kode etik bushido. Sangat dipengaruhi oleh Konfusianisme dan Buddhisme, bushido menjadi pedoman bagaimana samurai harus hidup dan mati.
Saat masih hidup, samurai harus menunjukkan kesetiaan, disiplin, penghematan, dan menghargai sifat kehidupan yang cepat berlalu.
Maka tidak hanya keterampilan bela diri yang diajarkan pada seorang samurai. Mereka juga mempelajari sastra dan seni, termasuk upacara minum teh, teater Noh, dan lukisan tinta.
Prajurit samurai membawa keindahan itu ke dalam pertempuran. Gabungan dari sifat bela diri dan artistik dari bushido akhirnya menciptakan baju zirah yang kuat namun indah. Seperti sebuah mahakarya sang dewa.
Tujuan utama dari desain baju besi adalah untuk menandakan kesetiaan seorang samurai. Tujuan kedua adalah untuk menimbulkan rasa takut ke dalam diri musuh. Tujuan ketiga dari desain adalah menjadi indah dan mengesankan.
Menurut kode etik bushido, satu-satunya cara yang layak bagi seorang samurai untuk mati adalah dalam pertempuran. Karena alasan ini, banyak samurai berharap agar dikuburkan dengan pakaian yang mereka kenakan saat berperang. Maka, baju zirah pun harus luar biasa indah.
Pelindung kepala dan muka
Bagian terpenting dari baju zirah adalah pelindung kepala dan muka. Selain melindungi, keduanya menjadi alat untuk mengintimidasi musuh dengan cepat.
Topeng atau pelindung muka dibuat agar terlihat seperti setan atau roh gunung. Biasanya terbuat dari besi dan kemudian dihiasi dengan bulu, cula badak, dan pernis.
Pelindung kepala, sering kali menjadi inti dari keindahan baju zirah itu. Pelindung kepala dibuat dalam beberapa bagian yang terbuat dari logam yang dihiasi tanduk, bulu, emas, pernis, dan bahkan kertas.
Hiasan baju zirah yang dipilih bisa berupa lambang keluarga atau simbol klan, seperti bunga krisan atau bulan sabit. Lainnya menampilkan binatang buas seperti naga, singa, atau burung pemangsa.
Baju zirah lainnya masih mengandung simbol-simbol keagamaan, seperti Bodhisattva terkenal atau dewi pelindung.
Pada abad ke-18, para shogun berhasil membawa perdamaian ke Kekaisaran Jepang. Baju zirah pun akhirnya tidak terlalu sering dipakai untuk bertempur. Tetap saja, baju zirah terus diproduksi untuk upacara dan untuk dipajang di rumah keluarga bangsawan.
Tidak hanya melindungi si pemakainya, baju zirah memiliki arti penting bagi samurai. Kode etik samurai pun diikutsertakan dalam penciptaan baju zirah yang kuat, menakutkan, sekaligus indah itu.