Kecerdasan Ekologis dalam Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Suku Bajo

By Utomo Priyambodo, Jumat, 7 Juli 2023 | 18:00 WIB
Selama berabad-abad, suku Bajo dikenal sebagai penjelajah air yang hidup di wilayah pesisir yang tetap lestari. Mereka punya kecerdasan ekologis dalam kearifan lokal mereka yang diwariskan secara turun-temurun. (Matthieu Paley/National Geographic)

Nationalgeographic.co.id—Masyarakat pesisir suku Bajo memiliki kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Kearifan lokal ini diwariskan melalui laku hidup yang kemudian menjadi kebiasaan perilaku dan hal ini berperan penting dalam konservasi lingkungan pesisir mereka.

Ramli Utina, peneliti dari Universitas Negeri Gorontalo, pernah membuat makalah studi berjudul "Kecerdasan Ekologis Dalam Kearifan Lokal Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo".

Menurut Ramli, dalam makalahnya ini, pemahaman masyarakat pesisir suku Bajo terhadap alam serta bentuk perilaku mereka akibat kedekatan mereka dengan elemen ekologis mereka telah membentuk kearifan lokal dalam masyarakat mereka.

"Nilai-nila tradisi, sikap dan perilaku berwawasan ekologis dalam tatanan hidup masyarakat lokal membentuk kecerdasan ekologis suatu masyarakat. Nilai lokal ini misalnya berlaku bagi masyarakat pesisir, ternyata cukup efektif dalam mengelola sumber daya alam serta upaya pelestarian ekosistemnya," tulis Ramli.

Penelitian Ramli ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan kecerdasan ekologis dalam nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Bajo di pesisir Gorontalo. Lingkup penelitian mencakup tradisi, perilaku dan pengetahuan lokal masyarakat Bajo dalam pemeliharaan ekosistem dan pemanfaatan sumber daya alam pesisir.

Informasi yang dipakai dalam studi ini diperoleh melalui wawancara mendalam dan diskusi fokus, selain observasi aktivitas masyarakat dan kondisi ekosistem pesisirnya. Informan terdiri dari kepala desa, kemudian dipilih tokoh masyarakat, tokoh adat, dan kepala keluarga.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa kecerdasan ekologis masyarakat Bajo tampak dalam tradisi melaut mamia kadialo, pengelolaan permukiman, cara memperoleh hasil tangkapan, dan pengetahuan masyarakat tentang gejala alam laut dan pesisir.

Tradisi mamia kadialo dalam masyarakat pesisir suku Bajo ini adalah berupa pengelompokan orang ketika ikut melaut dalam jangka waktu tertentu serta sarana/perahu yang digunakan. Ada 3 kelompok tradisi ini yaitu; palilibu, bapongka, dan sasakai.

Palilibu, adalah kebiasaan melaut yang menggunakan perahu jenis soppe yang digerakkan dengan dayung. Kegiatan melaut ini hanya dalam satu atau dua hari.

Adapun bapongka, atau disebut juga babangi, adalah kegiatan melaut selama beberapa minggu bahkan bulanan dengan menggunakan perahu besar berukuran kurang lebih 4 x 2 meter yang disebut Leppa atau Sopek. Sementara sasakai adalah kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu untuk melaut selama beberapa bulan dengan wilayah jelajah antarpulau.

Aktivitas harian salah satu kelompok suku Bajo, masyarkat pesisir yang punya kecerdasan ekoologi dalam kearifan lokal mereka. (BastianKyle/Wikimedia Commons)
Selama kelompok menjalani mamia kadialo (melaut) ada pantangan yang boleh dilakukan baik oleh keluarga yang ditinggal maupun mereka yang sedang melaut. Pantangan itu antara lain dilarang membuang ke perairan laut seperti; air cucian teripang, arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu rokok, air cabe, jahe dan air perasan jeruk.

Selain itu, ada juga larangan mencuci alat memasak (wajan) di perairan laut. Air cucian maupun bahan-bahan tersebut hendaknya ditampung kemudian dibuang di daratan.