Kritik terhadap seppuku
Arnoldus Montanus, orang Belanda, melaporkan pengamatannya terhadap tindakan seppuku dalam sebuah teks tahun 1669. Ia menggambarkannya sebagai metode yang mengerikan. Tapi di saat yang sama, ia mengomentari keberanian orang-orang yang bunuh diri. Bunuh diri dianggap tabu dalam agama Kristen. Oleh karena itu, seppuku pasti sulit dipahami oleh orang Eropa pada masa itu.
Pada tahun 1868, sekelompok samurai dari Provinsi Tosa diperintahkan untuk melakukan seppuku. Mereka dinyatakan bersalah membunuh 11 pelaut Prancis.
Perwira senior Prancis yang mengamati hukuman ini mungkin menganggapnya sebagai kebiasaan yang konyol. Sang perwira pun meminta agar hukuman itu dihentikan ketika 11 samurai telah menyelesaikan tindakan tersebut.
Orang Barat mengkritik praktik yang mereka sebut hara-kiri. Nitobe Inazo, seorang pendidik Jepang yang tinggal di Amerika Serikat, mengemukakan kasus seppuku dalam karyanya.
Dalam Bushido: The Soul of Japan, ia bersikeras bahwa seppuku adalah proses di mana para pejuang dapat menebus kesalahan. Para pelaku meminta maaf atas kesalahan, melarikan diri dari aib, menebus teman, atau membuktikan ketulusan mereka.
Seppuku di periode damai di Kekaisaran Jepang, jadi cara untuk menghukum
Nyatanya, seppuku berubah karakternya selama masa kedamaian panjang di sebagian besar periode Edo (1603–1868). Pada akhirnya, praktik seppuku tidak ada hubungannya dengan kebajikan atau kehormatan.
Pada awal periode Edo, seppuku diterapkan sebagai hukuman bagi samurai yang terlibat pertengkaran. Misalnya, jika samurai dari klan yang berbeda bertengkar dan salah satu menghunus pedangnya dan melukai yang lain. Bila itu terjadi, keduanya dapat diperintahkan untuk melakukan seppuku.
Dengan demikian, keduanya dianggap pantas mati, terlepas dari karakternya. Profesor Yamamoto mengatakan bahwa ini untuk mempertahankan gambaran bahwa samurai tetaplah prajurit. Tapi aturannya ambigu.
Dalam satu kasus, seorang bawahan memaki atasannya. Lalu tuannya itu melaporkannya ke petugas keshogunan. Setelah beberapa pertimbangan, petugas memerintahkan bawahannya untuk melakukan seppuku.
Lalu ada kejadian yang terjadi pada tahun 1623 di unit penjaga Kastel Edo. Ada area di dalam kastel di mana, tergantung pangkatnya, samurai harus turun dan berjalan. Mereka yang lewat dengan tidak sengaja menunggang kuda juga dihukum dengan seppuku. Dengan kata lain, seppuku semakin menjadi cara menegakkan sistem status.