Leher, ketiak atau di belakang lutut menjadi sasaran ideal bagi katana sang samurai.
Namun, samurai juga memiliki beberapa kelemahan yang berpotensi dieksploitasi oleh seorang kesatria abad pertengahan. Salah satu kelemahan paling signifikan adalah baju zirahnya tidak seberat milik kesatria.
Baju besi samurai dirancang untuk melindungi dari berbagai senjata dan serangan. Namun pakaian tempur ini tidak seberat baju zirah yang dikenakan oleh kesatria Abad Pertengahan. Hal ini membuat samurai lebih rentan terhadap pukulan keras atau serangan telak. Terutama dari senjata seperti gada atau kapak perang.
Seperti disebutkan di atas, salah satu kelemahan kesatria yang paling signifikan adalah kurangnya mobilitas mereka. Baju zirah berat yang dikenakan oleh para kesatria bisa menjadi tidak praktis dan melelahkan untuk dipakai, terutama dalam cuaca panas. Kelemahan ini bisa memperlambat mereka dalam pertempuran. Padahal, samurai terkenal akan kecepatan dan ketangkasannya.
Sulit untuk menentukan siapa yang akan menang dalam pertempuran antara kesatria Abad Pertengahan dan samurai Kekaisaran Jepang. Keduanya adalah pejuang terampil yang memiliki senjata, baju besi, dan taktik unik masing-masing.
Tidak mungkin untuk menentukan secara pasti siapa yang akan menang. Hal itu disebabkan karena perbedaan waktu dan tempat yang signifikan yang memisahkan kedua budaya.
Kesatria abad pertengahan dan samurai Kekaisaran Jepang ada dalam konteks budaya yang sangat berbeda dan bertempur di era yang berbeda. Kesatria berperang terutama selama Abad Pertengahan, antara abad ke-5 dan ke-15 di Eropa. Sementara samurai bertempur selama periode feodal di Jepang, antara abad ke-12 dan ke-19.
Pada akhirnya, hasil pertempuran akan bergantung pada keadaan pertempuran dan strategi yang digunakan oleh masing-masing kelompok. Meskipun demikian, perbandingan dari dua kelas prajurit menyoroti kekayaan dan keragaman budaya bela diri di seluruh dunia.