Yaya Ihya Ulumuddin dalam Diskusi Sisir Pesisir: Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Sejak Zaman Majapahit

By Utomo Priyambodo, Rabu, 19 Juli 2023 | 08:48 WIB
Yaya Ihya Ulumuddin, Peneliti Ahli Madya Bidang Ekologi Mangrove di Pusat Riset Oseanografi BRIN, turut menandatangani komitmen kolaborasi dalam program Sisir Pesisir yang digagas National Geographic Indonesia. (Warsono)

Nationalgeographic.co.id—Peneliti lainnya dari BRIN yang turut menghadiri Diskusi Kelompok Terpumpun Sisir Pesisir adalah Yaya Ihya Ulumuddin. Yaya adalah Peneliti Ahli Madya Bidang Ekologi Mangrove di Pusat Riset Oseanografi BRIN.

Dalam pemaparannya di acara diskusi Sisir Pesisir itu, Yaya mengatakan bahwa ekosistem pesisir "tidak hanya terumbu karang, ada lamun dan mangrove juga." Oleh karena itu, dia kemudian membahas secara lebih mendalam soal potensi dan ancaman ekosistem mangrove yang memang menjadi bidang kepakarannya.

Yaya mengatakan bahwa banyak spesies mangrove di Indonesia yang belum teridentifikasi dan terdata. "Mungkin yang di Jawa sudah terdata semua, tapi bagaimana dengan yang di Papua?" tanya Yaya retoris.

"Di Merauke, saya pernah menemukan satu jenis mangrove yang belum pernah saya lihat di mana pun," tutur Yaya.

Yaya mengatakan, berdasarkan data historis, banyak ekosistem mangrove di Indonesia rusak bahkan hilang tergusur akibat aktivitas manusia. Mulai dari pembukaan lahan untuk permukiman, pertambangan, hingga kemudian perkebunan sawit. Jadi, mangrove dan ekosistem pesisirnya ini sangat terpengaruh oleh pertambahan jumlah penduduk dan aktivitas mereka.

"Terakhir, luas mangrove kita itu sekitar 3,3 juta hektare," kata Yaya. Keberadaan vegetasi mangrove ini perlu kita lindungi karena ekosistem mangrove memberikan jasa yang besar bagi kehidupan manusia. Mulai dari mencegah abrasi, mencegah bencana alam seperti banjir rob, tempat satwa laut hidup dan berkembang biak, hingga menyerap karbon di udara.

Yaya memaparkan bahwa ekosistem mangrove mempunyai banyak potensi untuk dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir di sekitarnya. Salah satunya adalah penggunaan batang atau ranting mangrove untuk dijadikan arang.

"Arang mangrove itu adalah salah satu arang yang paling baik di dunia," ucap Yaya. "Arang mangrove itu sangat panas, tahan lama, dan wanginya juga enak."

Yaya mencontohkan, "Ada praktik pemanfaatan arang mangrove yang sustain di Malaysia. Itu nama tempatnya Matang Forest. Mereka mengelola mangrove itu sangat baik dengan tujuan untuk menghasilkan arang."

Yaya Ihya Ulumuddin dari Pusat Riset Oseanografi BRIN turut berdiskusi di acara Diskusi Kelompok Terpumpun Sisir Pesisir di Gedung Grid Network, Jakarta. (Warsono)

Selain itu, ekosistem mangrove juga bisa dimanfaatkan atau dipakai untuk dijadikan tambak ikan. "Tambak ini bukan hal yang baru di Indonesia. Ini sudah sejak zaman Majapahit," kata Yaya.

Kegiatan tambak di ekosistem mangrove terus berlangsung sejak zaman Majapahit hingga era Hindia Belanda. Lalu kemudian juga terus dilanjutkan oleh masyarakat pesisir di era Kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada zaman Hindia Belanda sebagian wilayah mangrove di Nusantara pernah dijadikan area perhutanan perkayuan. Di era kemerderkaan Indonesia, sebagian area mangrove juga sempat dijadikan sasaran untuk pembukaan lahan. Mulai dari untuk permukiman, pertambangan, hingga perkebunan.

Saat ini di Indonesia, wilayah ekosistem mangrove juga banyak dijadikan sebagai tempat wisata. "Mangrove tourism sedang marak-maraknya," kata Yaya. Salah satu contoh pemanfaatan ekosistem mangrove untuk jadi tempat ekowisata adalah Taman Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk.

Dulu, ekosistem mangrove di Indonesia juga banyak dimanfaatkan untuk sektor perikanan. "Perikanan yang paling ikonik (di mangrove) kan kepiting bakau," kata Yaya.

Kemudian selain membahas potensi mangrove, Yaya juga memaparkan faktor-faktor yang bisa menjadi ancaman ekosistem mangrove di Indonesia. Dia membaginya menjadi dua faktor utama, yakni faktor manusia (antroponegik) dan faktor alami.

Faktor manusia ini terkait dengan pertumbuhan penduduk. "Population growth. Dari population growth itu kita butuh makan, semua butuh makan," kata Yaya.

"Dan dari situ semua yang kemudian mendorong pembukaan tambak, pembukaan lahan untuk pertanian, pembukaan lahan untuk perkotaan dan seterusnya, tuturnya lagi.

"Bahkan mining activities sekarang juga banyak terjadi di ekosistem mangrove. Salah satunya yang paling gencar di Bangka Belitung. Itu tambang timah di Bangka Belitung yang tadinya di darat. Darat sudah habis, kemudian hajar pesisir dan laut," beber Yaya.

Oleh karena itu, kondisi mangrove di berbagai wilayah pesisir di Indonesia perlu dicek dan dipantau untuk kemudian dianalisis apa yang perlu dikembangkan berdasarkan potensinya dan apa yang perlu dicegah atau dihindari berdasarkan ancaman yang ada.

Dalam diskusi Sisir Pesisir ini, Yaya menjelaskan ada dua cara untuk memperbaiki ekosistem mangrove yang rusak. Pertama adalah dengan menghilangkan aktivitas apa pun dari manusia di lokasi tersebut. "Tinggalkan lahan tersebut, alam akan kembali menemukan keseimbangannya," tegas Yaya.

Cara lainnya yang lebih ribet adalah dengan melakukan restorasi. Area mangrove di Angke adalah salah satu contoh hasil restorasi. Wilayah mangrove itu kini kemudian menjadi tempat wisata dan rekreasi masyarakat umum.

Meski demikian, Yaya menegaskan bahwa kebutuhan masyarakat pesisir di berbagai wilayah yang akan disurvei dalam program Sisir Pesisir nanti pasti akan berbeda-beda. Jadi, yang perlu dianalisis dan dijawab menurut Yaya, jasa lingkungan apa yang dibutuhkan atau yang akan dimanfaatkan dari ekosistem mangrove atau ekosistem pesisir yang ada di masing-masing lokasi tersebut.

Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.