Nationalgeographic.co.id—Dari seluruh makhluk mitologi yang dikenal, ada satu yang paling dikenal karena terdapat dalam banyak peradaban, yaitu Sphinx. Ia dikenal sebagai makhluk mitologi mulai dari peradaban Asia, Timur Dekat dan tidak terkecuali dalam mitologi Yunani.
Akan tetapi, meski dikenal di banyak peradaban. Sphinx ternyata diinterpretasikan secara berbeda. Di Mesir kuno misalnya, Sphinx memiliki karakteristik laki-laki dan dirancang menjadi simbol kekuatan dan keperkasaan.
Interpretasi tersebut dapat terlihat dari patung Sphinx yang ikonik setinggi 66 kaki atau sekitar 20 meter yang menjaga Piramida Agung Giza.
Namun, di seberang Mediterania, Sphinx digambarkan dengan sangat berbeda dalam mitologi Yunani. Penulis drama Yunani Kuno Sophocles, dalam lakon tragisnya Oedipus Rex, menggambarkan Sphinx sebagai monster betina.
Sphinx dicitrakan memiliki tubuh singa, sayap burung, ekor ular. Sphinx juga dikisahkan menjadi ancaman bagi manusia dengan sejumlah kebijaksanaan yang mengganggu.
Teka-teki yang dia ajukan membingungkan dan membuat marah pria fana. Sphinx benar-benar merupakan ancaman bagi keberadaan manusia.
Sosok yang tak terlupakan ini digambarkan sebagai makhluk yang tinggal di luar kota Thebes, dalam kisah mitologi Yunani.
Dia adalah putri dewa Orthus, dan entah dewi Echidna atau Chimera, dan menanyakan sebuah teka-teki kepada semua pelancong, untuk membiarkan mereka lewat.
Setelah mengajukan teka-teki yang hampir mustahil kepada manusia sebelum dia membiarkan manusia lewat, Sphinx memakan siapa saja yang tidak dapat menjawab dengan benar pertanyaannya yang paling panas.
"Apa yang terjadi dengan empat kaki di pagi hari, dua kaki di siang hari, dan tiga kaki di malam hari?" seperti itulah salah satu teka-teka yang diajukan oleh Sphinx sang monster betina.
Tentu saja, kita tahu, setelah mengetahui dari contoh Oedipus, bahwa ini adalah “seorang manusia”, yang merangkak sebagai bayi, kemudian berjalan sebagai orang dewasa dan menggunakan tongkat sebagai orang tua.
Beberapa berpendapat bahwa ada teka-teki kedua setelah yang pertama, di mana Sphinx bertanya kepada para pelancong, “Ada dua saudara perempuan; yang satu melahirkan yang lain, yang pada gilirannya melahirkan yang pertama. Siapa mereka?"
Jawaban yang benar adalah “Siang dan Malam”. Kedua kata ini sama-sama feminin dalam bahasa Yunani, catat para peneliti dalam Greek Reporter.
Setelah Oedipus menjawab pertanyaan ini dan pertanyaan pertama dengan benar, Sphinx segera bunuh diri.
Ketika Oedipus dengan demikian diizinkan untuk melewati kota, dia akhirnya diangkat menjadi Raja di sana. Oedipus kemudian menikahi seorang wanita yang ternyata adalah ibu kandungnya.
Kisah Oedipus adalah kisah paling tragis dalam mitologi Yunani. Kisah tersebut adalah salah satu kisah yang juga menampilkan Sphinx sebagai monster betina yang mengancam manusia.
Apakah laki-laki begitu terancam oleh kekuatan perempuan sehingga mereka dijadikan monster?
Menurut Sophocles, Sphinx begitu gila setelah Oedipus menebak dengan benar, sehingga dia merasa tidak punya pilihan selain melemparkan dirinya dari tebing.
Sphinx yang mengajukan teka-teki sulit ini hanyalah salah satu dari beberapa monster betina mitologi Yunani yang digambarkan sebagai perempuan, termasuk Scylla dan Charybdis, Medusa, dan Lamia.
Tapi bagaimana ini bisa terjadi? Apakah wanita menimbulkan ancaman bagi pria, apakah kekuatan verbal dan emosional mereka cukup mengancam?
Sehingga Sophocles dan pembaca cerita mitologi Yunani memberikan bentuk wanita pada monster yang menakutkan ini?
“(Memang ada) ketakutan pria terhadap potensi destruktif wanita” Kata penulis Nora McGreevy mengenang pernyataan yang dibuat oleh ahli klasik Debbie Felton dalam sebuah cerita di majalah Smithsonian.
Cerita itu diterbitkan dalam sebuah esai pada tahun 2013, yang menyatakan bahwa kisah-kisah semacam itu, yang diturunkan dari generasi ke generasi, “berbicara tentang ketakutan pria akan potensi destruktif wanita."
Mitologi Yunani, sampai batas tertentu, memenuhi fantasi laki-laki untuk menaklukkan dan mengendalikan perempuan.
Terkait hal itu, jurnalis dan kritikus Jess Zimmerman, yang menulis dalam kumpulan esai berjudul “Women and Other Monsters: Building a New Mythology.”
Ia mengatakan “Wanita telah menjadi monster, dan monster telah menjadi wanita, dalam kisah-kisah berharga selama berabad-abad, karena cerita adalah cara untuk menyandikan ekspektasi ini dan meneruskannya.”
Zimmerman berteori bahwa ini diharapkan dalam budaya yang menghukum wanita karena kecerdasan asli mereka, dan karena "menyimpan pengetahuan untuk diri mereka sendiri".
Sphinx adalah perwujudan dari pepatah "pengetahuan adalah kekuatan"
Seperti yang dia nyatakan - dan seperti yang diketahui oleh setiap orang terpelajar - pengetahuan memang adalah kekuatan.
Inilah salah satu alasan, katanya, bahwa begitu lama dalam sejarah manusia, laki-laki telah mengecualikan perempuan dari pendidikan formal.
“Kisah Sphinx adalah kisah seorang wanita dengan pertanyaan yang tidak bisa dijawab pria,” kata Zimmerman. “Pria tidak menganggapnya lebih baik di abad kelima SM. daripada yang mereka lakukan sekarang.”
Menariknya, seorang penyair kontemporer, mendiang penulis Amerika Muriel Rukeyser menata kembali pentingnya makhluk perempuan semacam itu, yang bagaimanapun juga diciptakan oleh laki-laki.