Sumber daya minyak dan gas bumi dipastikan tetap menjadi elemen penting dalam memenuhi kebutuhan energi di era transisi energi. Berdasarkan data dari statistik BP, untuk menjawab kebutuhan energi, produksi minyak bumi dunia terus meningkat.
Peningkatan itu terlihat pada produksi 88,6 juta barel per hari (bph) pada 2012 menjadi 93,8 juta bph pada 2022. Sementara produksi gas juga meningkat sekitar 20% dalam 10 tahun terakhir dengan rata-rata konsumsi gas meningkat 1,7% per tahun.
Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengungkapkan data yang dikutip BP tersebut menunjukkan peran penting sektor migas dalam memenuhi kebutuhan energi yang terjangkau, terutama untuk sektor transportasi dan industri seiring dengan pertumbuhan ekonomi terutama negara berkembang, termasuk Indonesia.
Hal tersebut diungkapkan Arifin saat membuka IPA Convention and Exhibition (Convex) 2023 bertema Enabling Oil & Gas Investment and Energy Transition for Energy Security di ICE BSD, Tangerang, Selasa (25/7/2023).
Kebutuhan energi yang meningkat juga diiringi dengan tuntutan perbaikan kualitas lingkungan salah satunya dengan menekan emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan operasi produksi migas.
Ketahanan energi tidak hanya tentang kepastian pasokan serta keterjangkauannya namun juga harus lebih aman dan berkelanjutan serta rendah emisi karbon.
Menurut Arifin ada beberapa cara untuk memastikan industri hulu migas tetap tumbuh untuk memenuhi kebutuhan sekaligus turut berperan dalam upaya penurunan emisi karbon.
Efisiensi penggunaan energi untuk menekan emisi gas rumah kaca dalam kegiatan operasional adalah cara paling mudah yang bisa ditempuh para pelaku usaha.
“Selain itu juga ada pengurangan gas buang, mengatur emisi gas metana serta secara paralel meningkatkan penggunaan pembangkit listrik rendah karbon memanfaatkan sumber energi baru terbarukan. Langkah selanjutnya adalah dengan meningkatkan penggunaan gas, menginisiasi penggunaan teknologi yang efisiens, dan mengembangkan mobilitas rendah karbon, seperti penggunaan kendaraan listrik, biofuel, LNG," kata Arifin.
Arifin juga menjelaskan, pengembangan hidrogen juga harus terus didorong. Menurut dia, teknologi hidrogen akan menjawab tantangan industri masa depan yang rendah emisi karbon. Hal ini ditopang oleh kemampuan industri migas yang memiliki pengalaman dan kemampuan mumpuni untuk mengembangkan dan memproduksi hidrogen.
Menteri ESDM menegaskan, paling krusial di sektor hulu migas saat ini adalah implementasi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS). Apalagi tahun ini pemerintah menerbitkan aturan baru tentang CCS/CCUS dalam bisnis migas.
“Aturan tersebut menggambarkan CCS dan CCUS sebagai teknologi yang menjanjikan untuk menekan emisi karbon dalam rangka mengejar target Net Zero Emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat,” katanya.
Saat ini ada 15 proyek CCS/CCUS yang sedang dikerjakan di Indonesia. Diantaranya CCS Gundih Enhanced Gas Recovery (EGR) di Jawa Tengah dan Sukowati di Jawa Timur.
Proyek yang segera diimplementasikan ada di CCUS Tangguh yang ditargetkan menekan emisi karbon sebesar 25 juta ton CO2 serta mampu meningkatkan produksi gas hingga 300 BSCF pada tahun 2035. "Proyek ini ditargetkan onstream pada tahun 2026," ungkap Arifin.
Yuzaini Md Yusof, President IPA dalam sambutannya, mengatakan Indonesia sebagai salah satu negara yang cukup cepat bergerak dalam implementasi CCS/CCUS, termasuk mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM no 2/2023 tentang pengaturan CCS/CCUS di industri hulu migas. Ke depan, beberapa hal yang harus disiapkan adalah kebijakan fiskal, tax credit serta kebijakan harga karbon serta kesiapan storage carbon.
"Meskipun proyek CCS/CCUS sudah mulai berkembang, masih banyak proyek yang berisiko tinggi dan membutuhkan dukungan regulasi lebih lanjut. Dengan keberhasilan proyek CCS/CCUS utamanya masih bergantung pada dukungan regulasi dan daya tarik secara komersial, tentu masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan," jelas Yuzaini.