Tolak Eksklusivitas, Barbie Tawarkan Kecantikan Bagi Sindrom Down

By Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya, Senin, 31 Juli 2023 | 18:01 WIB
Simbol chevron pada kalung Barbie ini melambangkan (people.com)

Dapat dikatakan, perusahaan boneka ikonik ini merupakan perusahaan yang menciptakan seri boneka paling beragam dan inklusif. Dilansir dari The Guardian, dalam membuat produk ini Mattel bekerjasama dengan National Down Syndrome Society (NDSS) Amerika Serikat.

Perusahaan Mattel mengatakan telah berkonsultasi dengan NDSS dan tenaga kesehatan profesional sejak dilakukan proses desain. Setiap detail pahatan wajah dan tubuh diperhatikan agar lebih menggambarkan wanita dengan sindrom Down, termasuk kerangka yang lebih pendek dan batang tubuh yang lebih panjang. Telinganya lebih kecil dan pangkal hidung nampak datar. Matanya berbentuk seperti biji buah almond yang mana mirip dengan karakteristik wanita dengan kondisi kelainan genetik.

Berdasarkan kesepakatan desain dengan NDSS, kalung liontin yang melekat pada leher Barbie bewarna merah muda dengan tiga chevron menghadap keatas atau anak panah. Tiga chevron ini mewakili tiga salinan kromosom ke-21 yang merupakan materi genetik yang menyebabkan karakteristik kondisi Sindrom Down.

Ditambahkan oleh Mattel, simbol chevron ini melambangkan "the Lucky Few" atau keberuntungan bagi seseorang yang memiliki anak dengan Sindrom Down dalam hidup mereka.

Gaun yang dikenakan pada Barbie versi ini didominasi oleh warna kuning dan biru. Kedua warna ini diasosiasikan dengan kesadaran akan Sindrom Down. Pada pergelangan kaki dipasang ortotik prostetik pergelangan kaki warna merah muda untuk mencocokan dengan pakaiannya. Dan beberapa anak dengan Sindrom Down menggunakan ortotik prostetik untuk menopang kakinya.

Sindrom Down pertama kali diperkenalkan pada tahun 1866 oleh Dr. John Langdon Down asal Inggris melalui publikasi tulisannya. Sebelumnya, dikenal sebagai kondisi mongolisme. Oleh Down, kondisi dan tanda klinis dari sindrom ini diuraikan. Down berusaha mengupayakan pencegahaan keterbelakangan mental dan mempromosikan kesehatan keluarga, penanganan bayi sejak masa pra kelahiran hingga paska kelahiran dalam upaya pencegahan penyakit dengan istilah Sindrom Down yang diperkenalkannya.

Kebanyakan dokter pada masa itu beranggapan tidak banyak yang bisa dipelajari dari Sindrom Down, namun  Dr. John Langdon Down berpikir sebaliknya. Down mencoba mengklasifikasikan para pasiennya dengan mengambil foto pada sekitar 200 pasien.

Foto-foto ini menjadi koleksi terbesar fotografi klinis di era Victoria. Down menyimpulkan mereka memiliki kemiripan yang sama walupun tidak berasal dari orang tua yang sama. Down menamakannya dengan “The great Mongolian Family”.

Berdasarkan penelitian para ahli genetika, trisomi 21 tidak memiliki hubungan dengan gen Asia normal. Maka sejak 1960 di dunia barat istilah mongolisme tidak disebutkan lagi karena bernada rasis.