Demi Ilmu Pengetahuan, Para Petualang Dunia Ini Menghilang Tanpa Jejak

By Sysilia Tanhati, Sabtu, 19 Agustus 2023 | 11:00 WIB
Dalam sejarah dunia, mimpi besar membuat para penjelajah mempertaruhkan nyawanya. Demi ilmu pengetahuan, mereka harus menghadapi kelelahan, kelaparan, penyakit kronis, bahkan kematian. (William Bradford - Taubman Museum of Art )

Nationalgeographic.co.id—Dalam sejarah dunia, mimpi besar membuat para penjelajah mempertaruhkan nyawanya. Demi ilmu pengetahuan, mereka harus menghadapi kelelahan, kelaparan, penyakit kronis, bahkan kematian.

Tidak sedikit dari para penjelajah yang harus kehilangan nyawa tanpa meninggalkan hasil dari pencarian mereka. Ironisnya, sebagian dari mereka bahkan menghilang tanpa jejak.

Itulah nasib para penjelajah pemberani itu. Mereka mengabdikan hidup untuk menerangi beberapa sudut gelap Bumi. Meskipun mati dalam mengejar ilmu, warisan mereka tetap hidup dan dikenang hingga kini.

Corte-Real bersaudara, 1501-1502

Di awal abad ke-16, semakin banyak orang Eropa yang mempertaruhkan nyawa untuk menyeberangi Atlantik, mencari jalur laut ke Tiongkok. Gaspar Corte-Real, seorang penjelajah Portugis, melakukan perjalanan pada tahun 1501.

Armada kapalnya berlayar ke barat dari Lisbon sampai mereka menabrak bongkahan es, lalu berbelok ke selatan. Mereka akhirnya mendarat di tempat yang mungkin adalah Newfoundland.

Dari tiga kapal yang melakukan pelayaran, hanya dua yang kembali. Dua kapal itu membawa serta 50 tawanan penduduk asli Beothuk. Para tawanan itu diculik secara paksa. Gaspar Corte-Real sendiri tidak termasuk di antara para pelaut Portugis yang kembali.

Miguel Corte-Real, kakak laki-lakinya, mengkhawatirkan nasib Gaspar. Karena itu, pada 1502 ia memimpin ekspedisinya sendiri untuk mencari Gaspar. “Tapi tragedi terjadi untuk kedua kalinya, karena Miguel tidak pernah terdengar lagi kabarnya,” tulis Lorraine Boissoneault di laman JSTOR Daily.

Yang terakhir dan tertua dari Corte-Real bersaudara, Vasco Annes, berangkat mencari Gaspar dan Miguel pada tahun 1503. Ia juga tidak menemukan apa pun tentang nasib saudaranya. Untungnya, Vasco Annes dapat kembali ke Portugal. Pada saat itulah penjelajahan Portugis di Atlantik Utara berakhir.

Berabad-abad kemudian, arkeolog menemukan batu pasir kemerahan yang besar di daerah Teluk Narragansett. Tempat itu dinamakan Dighton Writing Rock. Namanya berasal dari banyak prasasti yang diukir di permukaannya. Salah satunya adalah Miguel Corte Real dan tanggal 1511 serta lambang kerajaan Portugis.

Para peneliti berspekulasi bahwa armada Miguel mungkin berada di pantai New England selama bertahun-tahun. Bisa jadi mereka tersesat dalam kabut dan garis pantai yang asing.

Ludwig Leichhardt, 1848

Meskipun ilmuwan Prusia Ludwig Leichhardt mendapatkan pendidikan di Eropa, minatnya yang sebenarnya adalah Australia. Ia memimpin perjalanan 18 bulan yang sukses untuk mengumpulkan spesimen botani. Perjalanan itu dilakukan dari dari pantai timur ke barat laut Australia.

Leichhardt dipuji sebagai "Pangeran Penjelajah" Australia. Namun, 5.000 kilometer yang dia tempuh hanyalah pendahulu untuk perjalanan berikutnya. Leichhardt mengusulkan untuk menjelajah dari Sungai Condamine di Queensland ke Sungai Swan di Australia Barat. Perjalanan itu lebih jauh dan lebih berbahaya karena harus melalui pedalaman.

Leichhardt pergi pada tahun 1848 dengan tujuh orang, 20 bagal, dan tujuh kuda. Setelah melewati Stasiun McPherson di Darling Downs pada 3 April, dia dan anak buahnya menghilang.

Semua yang pernah ditemukan dari Leichhardt hanyalah plakat kuningan yang ditempelkan pada senjata yang terbakar. Pada plakat itu, namanya dan tahun 1848 tertuli. Plakat tersebut ditemukan terjepit di pohon yang batangnya diukir dengan huruf "L".

Para peneliti mengonfirmasi bahwa plakat itu sebenarnya berasal dari senjata Leichhardt. Mereka berspekulasi bahwa dia berhasil mencapai setidaknya dua pertiga perjalanan melintasi benua sebelum sesuatu mencegahnya melangkah lebih jauh.

Analisis lebih lanjut tidak dilakukan. Sehingga, detail tentang perjalanan dan hilangnya Leichhardt tidak diketahui. Nasibnya tetap menjadi misteri di pedalaman yang gersang.

Peng Jiamu, 1980

“Saya memiliki keinginan yang kuat untuk menjelajahi perbatasan. Saya memiliki keberanian untuk membuka jalan ke alam liar,” tulis ahli biokimia Tiongkok Peng Jiamu. Ia mengajukan permohonan untuk melakukan ekspedisi ke Gurun Lop Nur.

Sebelum dikeringkan oleh bendungan kolosal, wilayah itu adalah rawa yang sangat besar. Lingkungan gurun yang ditinggalkan oleh bendungan sebagian besar belum dijelajahi. “Hanya sedikit yang diketahui tentang kimia dan geologinya,” tambah Boissoneault.

Peng diterima dalam ekspedisi penelitian ke gurun buatan manusia di Xinjiang pada tahun 1964. Selama di sana, dia mengukur akumulasi tahunan potasium dalam debu, yang ditemukan sebanyak 750.000 ton.

Peng masih belum puas. Maka pada 1980, dia memimpin ekspedisi kedua ke medan berbahaya. Topografi Lop Nur yang tidak biasa, cuaca ekstrem (termasuk badai debu), dan bukit pasirnya yang bergeser menjadikannya berbahaya. Bahkan bagi penjelajah berpengalaman seperti Peng.

Ketika ekspedisi Peng mulai kehabisan air, mereka mempertimbangkan untuk mundur. Namun Peng mendesak timnya untuk terus maju.

Suatu pagi, dia berangkat sendiri, meninggalkan catatan di tendanya yang mengatakan bahwa dia akan pergi mencari air. Tetapi baik dia maupun tim ilmuwannya tidak pernah kembali. Upaya pencarian selanjutnya tidak menghasilkan apa-apa.

Pemerintah mengirim ratusan tentara untuk mencarinya, tetapi Peng tidak pernah ditemukan. Beberapa tahun kemudian, pejabat Shanghai menganugerahkan gelar "martir revolusioner" kepada ilmuwan yang hilang itu. Anugerah itu diberikan untuk memperingati karyanya tentang virus tanaman, termasuk pembuatan obat untuk penyakit pada tanaman.

Eeksplorasi tidak memberikan keamanan. Penjelajah yang dipenuhi oleh rasa ingin tahu terus terdorong untuk mengunjungi berbagai tempat. Mereka bersedia mengorbankan diri sendiri demi mendapatkan pengetahuan.