Batu Plastik Mengancam Keberlanjutan Ekosistem Pesisir di Indonesia

By Ricky Jenihansen, Senin, 21 Agustus 2023 | 12:00 WIB
Plastiglomerat puing-puing karang yang disatukan oleh puing-puing plastik yang meleleh. Batu plastik ini dapat membahayakan lingkungan. (Birgit Mohr, Kiel University)

Nationalgeographic.co.id—Seringkali sampah di pantai dibakar begitu saja dan akhirnya berubah menjadi bentuk khusus yang disebut plastigomerat. Hasil penelitian tim peneliti Indonesia-Jerman menunjukkan, bahwa plastigomerat atau batu plastik dapat mengancam ekosistem pesisir.

Menurut penelitian tersebut, plastik yang meleleh terurai tidak hanya menjadi mikroplastik dengan cepat. Plastik yang meleleh juga dapat terkontaminasi polutan organik.

Para peneliti telah menerbitkan hasil penelitian mereka di jurnal Scientific Reports belum lama ini. Hasil penelitian itu juga untuk pertama kalinya mengidentifikasi batu plastik atau plastigomerat di pantai Indonesia.

Jurnal tersebut dipublikasikan dengan judul "Plastiglomerates from uncontrolled burning of plastic waste on Indonesian beaches contain high contents of organic pollutants" dan merupakan jurnal akses terbuka.

"Sampai sekarang, ada penelitian yang agak mendasar yang menggambarkan pembentukan plastiglomerat," kata penulis pertama Dwi Amanda Utami.

"Dengan hasil kami, kami telah menunjukkan untuk pertama kalinya bagaimana plastiglomerat berbeda dari limbah plastik lainnya dan dapat membuat pernyataan yang lebih baik tentang dampak lingkungannya."

Dwi adalah ilmuwan di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan datang ke Kiel untuk beasiswa selama tiga bulan.

Pekerjaan penelitian dimungkinkan dengan pendanaan dari Layanan Pertukaran Akademik Jerman (DAAD). Program itu adalah kerja sama antara BRIN dan para ilmuwan di bidang penelitian prioritas Kiel Marine Science (KMS) di Kiel University.

Pembentukan batu plastik

Jika sampah plastik dibakar langsung di pantai, proses pencairan dan pembakaran ini menghasilkan "batuan" plastiglomerat. Bentuk itu itu memiliki matriks plastik rantai karbon terdegradasi.

Plastik yang terdegradasi secara kimia ini lebih cepat menjadi mikroplastik melalui paparan angin, ombak, dan butiran sedimen di pantai.

Proses pembakaran yang tidak sempurna melepaskan polutan baru dari plastik yang mula-mula mengendap di plastik kemudian terlepas ke lingkungan.

Dwi Amanda Utami (duduk di tengah) bersama rekannya mengumpulkan sampel lapangan di Indonesia. (Dwi Amanda Utami, BRIN)

Kontaminan ini seringkali memiliki relevansi ekotoksikologi yang lebih tinggi daripada plastik induk.

Untuk penelitian ini, ilmuwan Dwi mengumpulkan total 25 sampel lapangan dari pantai di Pulau Panjang di sisi barat pulau Jawa. Ia menganalisisnya di laboratorium bersama dengan peneliti dari Kiel University.

Salah satunya adalah Lars Reuning, promotor ilmiah Dwi di Kiel dan penulis kedua studi tersebut. Reuning adalah anggota Kelompok Riset Paleontologi di Institut Geosains di Kiel University.

Reuning mengatakan, analisis mereka menunjukkan bahwa plastiglomerat yang mereka temukan terkontaminasi dengan polutan organik.

"Meskipun hasil lebih lanjut tentang bioakumulasi masih tertunda, mereka dapat diklasifikasikan sebagai berpotensi karsinogenik bagi manusia," katanya.

Ancaman ekosistem pesisir

Menurut para peneliti, banyak efek yang mungkin terjadi pada ekosistem pesisir karena batu plastik atau plastigomerat.

"Untuk menilai kerusakan lingkungan dengan lebih baik, kami saat ini sedang meneliti komposisi yang tepat dari polutan organik yang terkait dengan plastik, seperti senyawa organofosfor", kata ahli geokimia Schwark.

Yang juga menarik adalah kecenderungan plastiglomerat mudah membusuk.

"Biasanya, foto-oksidasi oleh sinar UV mempengaruhi lapisan atas plastik. Tapi termo-oksidasi dengan membakar limbah plastik secara signifikan mengubah struktur internal material juga", kata ahli geosains Reuning.

Di masa depan, banyak ekosistem pesisir perairan tropis di Indonesia maupun di seluruh dunia akan terpengaruh oleh batu plastik Plastiglomerat.

Hasil penelitian juga telah menunjukkan bahwa polutan organik juga mempengaruhi karang atau organisme laut lainnya. Pada akhirnya dapat berdampak negatif pada kesehatan laut.

Oleh karena itu penelitian lebih lanjut juga melihat ekosistem lain seperti padang lamun, mangrove atau organisme yang hidup di sedimen ekosistem pesisir.

"Dibandingkan sampah plastik biasa, sifat unik Plastiglomerat membutuhkan bentuk pengelolaan ekosistem pesisir yang spesifik", kata Dwi.

“Jika sampah dari daerah perkotaan di pantai tropis dibuang dan dikelola dengan lebih baik, masalah serius dapat dicegah.”

Seorang wanita sedang menyortir sampah plastik. (UNEP /Florian Fussstetter)

Pengelolaan sampah plastik

Seperti diketahui, sampah plastik di laut berdampak negatif terhadap ekosistem pesisir dan laut. Itu karena makhluk laut seperti paus, penyu, dan ikan salah mengira sampah plastik sebagai makanan.

Makhluk laut akhirnya akan menelan bahan yang tidak dapat mereka cerna. Plastik kemudian terakumulasi dalam tubuh mereka selama hidup mereka, membunuh mereka atau naik ke rantai makanan dan akhirnya berputar kembali ke manusia.

Pengelolaan sampah plastik yang tepat masih kurang di masyarakat pesisir di seluruh Indonesia, negara kepulauan dengan sekitar 17.000 pulau, menurut sebuah studi tahun 2020.

Makalah tersebut telah diterbitkan di jurnal PLoS One dengan judul "Ocean plastic crisis—Mental models of plastic pollution from remote Indonesian coastal communities."

Menurut hasil penelitian itu, penggunaan plastik di Indonesia telah semakin melampaui upaya mitigasi. Limbah di sebagian besar masyarakat pesisir tidak berakhir di tempat pembuangan sampah atau di dekat fasilitas daur ulang.

Faktanya, rata-rata 2 metrik ton sampah plastik per minggu mungkin berakhir di lautan hanya dari satu desa. Warga membakar atau membuang limbah mereka, baik langsung ke laut atau di tumpukan yang bisa hanyut saat hujan deras.

Setidaknya, sekitar 6,8 juta metrik ton sampah plastik setiap tahunnya di hasil masyarakat Indonesia, menurut survei tahun 2017 oleh Kemitraan Aksi Plastik Nasional Indonesia.

Hanya 10% dari limbah tersebut yang didaur ulang di 1.300 pusat daur ulang yang beroperasi di seluruh negeri. Sementara jumlah yang hampir sama, sekitar 620.000 metrik ton, berakhir di lautan.

Beberapa sampah plastik itu terurai dengan cepat dan menjadi mikroplasti, sementara yang lainnya menjadi mengikat material alami seperti pasir, batu, dan kerikil di sekitarnya menjadi batu plastik atau plastigomerat.

“Saya kira masalah sampah plastik ini sangat masif dan mencakup dari hulu hingga hilir,” kata Dwi. “Akan ada lebih banyak temuan baru tentang sampah plastik baik makro maupun mikro."

Saat ini, untungnya pemerintah dan masyarakat sadar akan bahaya plastik dan berusaha mengurangi penggunaan plastik sekali pakai.”

Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.