Histori Nyamaq Dilauq Wariskan Masyarakat Pesisir Untuk Menjaga Laut

By Galih Pranata, Jumat, 25 Agustus 2023 | 09:00 WIB
Ritual memandikan pusaka dalam tradisi Mandar. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Sejumlah remaja alias generasi milenial, mulai berduyun ke pesisir laut. Ritual pelarungan kepala kerbau menjadi ritual sakral yang unik bagi masyarakat pesisir Bajo di Lombok Timur, yang di mana target utamanya ramaja.

Kebudayaan masyarakat pesisir Suku Bajo ini berlokasi di Kecamatan Keruak, Lombok Timur. Ritual nun unik ini dinamakan ritual nyalamaq dilauq. Ritual yang sudah mengakar lama bagi masyarakat pesisir Bajo.

Ritual nyalamaq dilauq menjadi satu identitas sekaligus "sebagai wadah untuk menyatukan perbedaan suku-suku bangsa di Tanjung Luar dan kelestarian lingkungan pesisir," tulis Habibuddin, Hanapi, dan Burhanuddin.

Habibuddin bersama dengan tim risetnya menulis dalam jurnal Geodika dengan artikel ilmiah berjudul Pelestarian Lingkungan Pesisir Melalui Ritual Nyalamaq Dilauq di Desa Tanjung Luar Keruak Lombok Timur yang terbit pada tahun 2023.

Secara historis, menurut tradisi tutur yang masih dipegang kuat oleh masyarakat Tanjung Luar hingga kini, terdapat legenda mengenai awal mula penyelenggaraan ritual nyalamaq dilauq di Lombok Timur dalam beberapa versi.

Pertama, ritual nyalamaq dilauq pada awalnya diselenggarakan oleh suku Mandar, tepatnya di Balanipa. Balanipa merupakan sebuah kerajaan di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh tomakaka.

Suatu ketika, tatkala kerajaan Balanipa dilanda wabah penyakit, seorang tokoh bernama Datu’ Mandar yang bergelar Mara’dia Ma’danuang memperoleh ilham (petunjuk). Petunjuk tersebut berisi tentang cara mengusir wabah penyakit.

Disebutkan apabila wabah penyakit tersebut hilang dari Balanipa, maka masyarakatnya harus melangsungkan upacara selamatan laut dengan mengorbankan kepala kerbau.

Menariknya, seusai ritual diselenggarakan, wabah penyakit yang menimpa Kerajaan Balanipa sirna. Sejak saat itu, suku Mandar menyelenggarakan ritual nyalamaq dilauq (selamatan laut).

"Kisah legenda itu dikuatkan dalam bait syair pitoto yang dibacakan pada saat penyelenggaraan ritual nyalamaq dilauq tentang pertemuan Mara’dia Ma’danuang (dari suku Mandar) dengan suku Bajo," terus Habibuddin dkk.

Dari pertemuan tersebut, suku Mandar memercayakan penyelenggaraan ritual nyalamaq dilauq pada suku Bajo demi menjaga kehidupan rakyat Bajo. 

Melalui pertemuan tersebut, tersirat pesan yang bersifat reciprocal antara suku Mandar dan Bajo untuk bersama-sama menjaga pesisir dan laut, seperti tidak mengotori laut dan tidak melakukan pengrusakan terhadap terumbu karang.