Nationalgeographic.co.id—Menurut sekelompok peneliti internasional, untuk mencapai solusi nyata bagi konservasi laut, kita harus mendengarkan pihak-pihak yang paling terkena dampak dari permasalahan yang dihadapi lautan saat ini. Pihak-pihak yang mereka maksud adalah masyarakat pesisir di daerah tropis.
Dalam sebuah makalah studi baru yang terbit di jurnal Ocean Sustainability, tim riset yang terdiri atas 25 peneliti mancanegara membahas perspektif itu. Makalah studi mereka itu bertajuk "Engaging the Tropical Majority to Make Ocean Governance and Science more Equitable and Effective".
“Kita tidak bisa benar-benar berbicara tentang laut tanpa berbicara tentang alam dan manusia,” kata Ana Spalding, staf ilmuwan Smithsonian Tropical Research Institute (STRI) sekaligus direktur pendiri Adrienne Arsht Community-Based Resilience Solutions Initiative.
Spalding adalah salah satu peneliti dalam studi tersebut. Bersama Kirsten Grorud-Colvert, ahli ekologi kelautan associate professor di Oregon State University (OSU), Spalding menjadi penulis utama studi itu. “Kirsten dan saya telah bekerja sama untuk menjembatani kedua aspek tersebut,” ujarnya seperti dikutip dari laman STRI.
Tujuan dari makalah studi mereka ituadalah untuk memanfaatkan fokus pada daerah tropis yang dihasilkan dari Our Ocean Conference yang diadakan di Panama pada bulan Maret 2023. Spalding dan Grorud-Colvert mengumpulkan sekelompok peneliti multidisiplin dari seluruh daerah tropis global untuk mendiskusikan solusi yang dapat ditindaklanjuti untuk konservasi kelautan.
Setelah pertemuan curah pikiran awal lewat Zoom, mereka menyelenggarakan lokakarya penulisan draf secara langsung dengan kelompok kolaborator inti pada bulan November 2022 di Punta Culebra Nature Center STRI di Panama City, Panama.
Tujuannya adalah untuk membahas cara menghadapi permasalahan paling mendesak yang berdampak pada lautan, khususnya di wilayah tropis global. Namun, alih-alih hanya berfokus pada aspek ilmiah dari konservasi laut, tema umum yang muncul pada diskusi awal itu adalah ketidakadilan dalam tata kelola kelautan dan ilmu kelautan.
“Hal yang ditekankan adalah perubahan sistemik dalam kesenjangan dan akses adalah hal yang penting,” kata Spalding. "Kami masih memasukkan sisi sains yang lebih teknis, tetapi hal itu sudah tertulis, sudah dibicarakan. Kami memutuskan untuk memprioritaskan masalah ini."
Wilayah tropis, termasuk kepulauan Indonesia, adalah rumah bagi sebagian besar keanekaragaman hayati laut dunia dan sebagian besar masyarakat yang bergantung langsung pada laut. Namun tata kelola kelautan masih didominasi oleh negara-negara berpenghasilan tinggi di wilayah beriklim sedang, tempat sebagian besar pengetahuan ilmiah dan pendanaan berasal. Kebijakan sebagian besar juga dibuat oleh para pembuat kebijakan di luar wilayah tropis.
“Kami ingin mengakui kesenjangan ini sejak awal, bahwa sebagian besar sumber daya dan pendanaan untuk konservasi laut berasal dari daerah beriklim sedang, dan hal ini sering kali menyebabkan kepentingan-kepentingan tersebut saling mengkooptasi. Dari sana kita dapat bergerak maju, dengan suara tropis dan ahli tropis yang memimpin," ujar Grorud-Colvert.
Dalam makalah tersebut, para peneliti menyimpulkan bahwa, untuk mencapai solusi nyata dan jelas bagi keberlanjutan laut, ada empat tindakan utama yang harus dicapai terlebih dahulu: kesetaraan dalam ilmu pengetahuan dan tata kelola kelautan, menghubungkan kembali masyarakat dan lautan, mendefinisikan kembali literasi kelautan, dan dekolonisasi ilmu kelautan.
“Makalah ini benar-benar menyoroti bahwa masalahnya bukan hanya pada perubahan ekosistem alami, ikan, dan hutan mangrove, masalahnya adalah dampak yang tidak proporsional dari perubahan tersebut terhadap kelompok masyarakat tertentu, khususnya di wilayah tropis global. Dan kita tidak akan melihat perubahan di alam sampai kita melihat perubahan sistemik dalam cara masyarakat di kawasan ini dapat berpartisipasi, terlibat, merasa terhubung dengan isu-isu, dan merasa bertanggung jawab atas perubahan-perubahan ini,” kata Spalding.
“Kita perlu lebih dari sekedar membicarakan masalah ini, tetapi juga mengambil tindakan untuk mengatasi kesenjangan,” ucap Sangeeta Mangubhai, ilmuwan riset di Talanoa Consulting di Fiji yang juga menjadi salah satu penulis makalah studi itu. “Inilah saatnya untuk menghargai dan memercayai pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang sejarah dan tempat yang kita miliki di wilayah mayoritas tropis dan mari kita memimpin di tempat-tempat yang kita sebut sebagai rumah,” lanjutnya lagi.
“Kesimpulan yang ingin saya fokuskan adalah mendekolonisasi ilmu kelautan, mulai dari siapa yang memimpin, hingga bagaimana hal itu dilakukan. Tindakan ini relevan untuk semua skala dan dimensi konservasi laut: dari individu hingga institusi, teori hingga praktik, dan dari sudut pandang pemuda hingga orang tua kita,” komentar Steven Mana'oakamai Johnson, peneliti dari Departemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Cornell University yang juga menjadi penulis studi itu.
Spalding dan Grorud-Colvert berkomitmen untuk menciptakan ruang guna mendengarkan dan menantang berbagai perspektif dan ide. “Kita tidak dapat menemukan solusi tanpa pembicaraan yang terbuka dan jujur serta transdisipliner, dan memastikan bahwa kita menciptakan ruang agar hal ini terjadi,” tambah Grorud-Colvert.
Meskipun zona waktu dan budaya berbeda, para kolaborator terkejut saat mengetahui bahwa pengalaman mereka tidak jauh berbeda.
“Sungguh menakjubkan bagaimana pengalaman bersama bisa menghasilkan solusi bersama untuk kawasan tropis global. Di Asia Timur, Pasifik, Afrika, dan Amerika Latin, kita semua merasakan hal serupa, dan kita merasa diakui oleh orang-orang di kawasan ini,” kata Spalding.
"Memperkuat suara mayoritas masyarakat tropis dalam ilmu pengetahuan dan tata kelola kelautan adalah kunci untuk memastikan keputusan terkait kawasan tropis mencakup perspektif dari para pelaku utama di kawasan tropis,” kata Josheena Naggea dari Departemen Kelautan dan Center for Ocean Solutions di Stanford Universitas yang turut menulis studi tersebut.
“Para pemimpin ilmiah saat ini perlu menyadari bahwa para ilmuwan di daerah tropis telah lama diabaikan atau dipinggirkan dan kita tetap menghasilkan pengetahuan penting, dan sering kali dengan cara yang lebih adil,” kata Andrés Cisneros-Montemayor, Wakil Direktur di Ocean Nexus, dan Assistant Professor di Simon Fraser Universit yang juga turut berkontribusi dalam makalah studi.
Estradivari, peneliti dari Departemen Ekologi di Leibniz Center for Tropical Marine Research (ZMT) di Jerman yang turut menulis makalah studi, menegaskan, “Meskipun ada kesenjangan nyata dalam tata kelola kelautan dan ilmu pengetahuan yang dapat berdampak negatif pada konservasi laut, solusinya juga tersedia selama kita menghargai keberagaman dan fleksibilitas serta memanfaatkan peluang untuk perubahan."
Artikel ini adalah bagian dari sinergi inisiatif Lestari KG Media bersama Saya Pilih Bumi, Sisir Pesisir dengan media National Geographic Indonesia, Initisari, Infokomputer, dan GridOto.