Pareidolia dalam Kisah Kepiting Hantu Samurai Kekaisaran Jepang

By Cicilia Nony Ayuningsih Bratajaya, Jumat, 1 September 2023 | 07:00 WIB
Makhluk mitos yang dikenal sebagai kepiting hantu samurai menjadi bagian kisah sejarah samurai Kekaisaran Jepang yang melegenda. (Kuniyoshi Utagawa)

Nationalgeographic.co.id—Pernahkah anda melihat sosok mirip wajah pada busa di permukaan kopi anda? Seberapa sering ketika menengadah ke langit anda melihat gambar binatang dan wajah di awan? 

Hal ini merupakan fenomena psikologis yang disebut pareidolia. Pareidolia termasuk ilusi visual atau kekeliruan dalam memaknai sebuah gambar pada objek. Terjadi ketika seseorang memiliki persepsi untuk melakukan interpretasi dan mencari makna pada stimulus yang samar-samar.

Stimulus tersebut biasanya visual sehingga seseorang melihat suatu objek atau pola kemudian memberi makna yang sebenarnya tidak ada. Fenomena semacam ini sangat normal, namun jika kecenderungan ini dilakukan terus menerus menimbulkan gangguan persepsi.

Dibalik kisah sejarah pertempuran samurai Kekaisaran Jepang, ternyata fenomena ini terungkap menjadi legenda cerita rakyat Jepang.

Pada akhir periode Heian Kekaisaran Jepang, terjadi sebuah peperangan memperebutkan Kekaisaran Jepang. Pertempuran ini dilakukan oleh dua klan samurai terkuat di Kekaisaran Jepang saat itu, yaitu klan Minamoto yang juga disebut klan Genji dan klan Taira yang juga disebut klan Heike.

Pertempuran yang terjadi pada tahun 1180-1185 dinamakan Perang Genpei. Perang Genpei diakhiri dengan pertempuran sengit yang terjadi di Dan-no-ura yang berada pada selat Shimonoseki, ujung selatan pulau Honshu.

Pertempuran ini kemudian disebut petempuran Dan-no-ura. Pertempuran sengit dua klan samurai ini terjadi hingga tahun 1185 Masehi. Bisa dikatakan pertempuran Dannoura sebagai penentu akhir dari perang Genpei.

Klan Genji muncul sebagai pemenang, yang menyebabkan jatuhnya klan Heike. Dikatakan bahwa banyak anggota klan Heike yang kalah tewas dalam pertempuran ini.

Sebenarnya klan Heike sangat lihai dalam melakukan pertempuran di atas laut. Di pagi hari pertempuran, mereka berhasil memanfaatkan arus air Dan-no-ura untuk mempersulit gerak pasukan dari klan Genji. Namun sayangnya klan Heike kalah jumlah dibanding klan Genji.

Pada tanggal 24 April 1185, dua klan samurai Kekaisaran Jepang terkuat ini bertempur sampai mati di teluk Dan-no-ura. Adu kebolehan pertempuran pedang pun dimulai di atas kapal. Kedua belah pihak saling menyerang kapal masing-masing.

Seketika saja arus air berpaling sehingga tidak menguntungkan klan Heike. Klan Heike telah memerintah Kekaisaran Jepang selama beberapa dekade, namun kini nasib mereka di tangan klan Genji. Melihat gelagat kekalahan dari pertempuran tersebut, klan Heike memilih untuk bunuh diri dengan melompat ke laut dan menenggelamkan diri.

Seorang anggota keluarga kerajaan membawa Kaisar Antoku yang masih berusia enam tahun dan terjun bersamanya ke dalam air di Selat Shimonoseki. Lebih baik menenggelamkan anak kaisar daripada membiarkannya ditangkap oleh pasukan lawan. Antoku kemudian dipuja sebagai Mizu-no-kami sebutan untuk dewa air.