Nationalgeographic.co.id—Hutan di Bumi Lancang Kuning adalah rumah bagi sebagian gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus).
Saat ini, populasi mereka di Riau diperkirakan hanya sekitar 200-300 ekor, berdasarkan laporan KLHK. Aktivitas manusia yang semakin tinggi ke dalam hutan, membuat gajah kian tergusur dari habitatnya.
Kini, masyarakat dari berbagai kalangan, mulai bergerak untuk melindungi gajah sumatra. Sebagian dari mereka tergabung dalam Rimba Satwa Foundation (RSF), sebuah lembaga yang bergerak di bidang konservasi dan pelestarian gajah sumatra.
Salah satu tugas RSF adalah ikut melakukan mitigasi interaksi negatif manusia dan gajah, yaitu dengan membentuk tim patroli.
Mereka terjun ke lapangan untuk memonitor pergerakan gajah. Khususnya, membantu masyarakat dalam upaya meminimalisir kerugian yang disebabkan oleh interakasi negatif manusia dan gajah.
Rozi Saputra, koordinator tim patroli RSF, menjelaskan bahwa mereka bertugas 10 hari dalam sebulan.
Patroli dilakukan selama 9 jam, dari pukul 8 pagi hingga pukul 5 sore. Namun, lama waktu bertugas dapat dipengaruhi juga dengan kondisi di lapangan.
“Seandainya ada konflik dan kita masih ada di lapangan, kita tetap terjun. Contohnya untuk gajah liar, rutinitas untuk memasuki lahan masyarakat itu terjadi pada sore hari hingga menjelang tengah malam. Di sini kami melakukan antisipasi,” jelasnya.
Ketika terjadi interaksi negatif manusia dan gajah, Rozi bersama warga akan melakukan blokade. Mereka akan mengusir gajah dengan bunyi-bunyian keras, misalnya dengan teriakan atau petasan spirtus.
Hadirnya tim patroli RSF juga dapat menambah jumlah personel untuk blokade, sehingga pengusiran dapat dikerjakan lebih ringan.
Pekerjaan tim patroli juga bukan tanpa risiko. Parta, rekan patroli Rozi, mengisahkan bahwa dia pernah dikejar gajah. Meski pada akhirnya selamat, pengalaman itu membekas hingga sekarang. Gajah liar meskipun terlihat lembut, ia dapat sangat berbahaya.